Pengertian Postkolonialisme
Postkolonialisme,
dari akar kata “post” + kolonial + “isme,” secara harfiah berarti paham
mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Dasar semantik istilah
‘postkolonial’ tampaknya hanya berkaitan dengan kebudayaan-kebudayaan nasional
setelah runtuhnya kekuasaan imperial. Dalam karya-karya sebelumnya, istilah
postkolonial ini tak jarang juga digunakan untuk membedakan masa sebelum dan
sesudah kemerdekaan (‘masa kolonial dan postkolonial’). Misalnya saja, dalam
merekonstruksi sejarah-sejarah kesusastraan nasional atau memaparkan
kajian-kajian perbandingan antar tahapan-tahapan dalam sejarah-sejarah
tersebut. Secara umum, meski istilah ‘kolonial’ telah digunakan untuk menyebut
masa prakemerdekaan dan sebagai istilah untuk menggambarkan karya-karya nasional,
seperti ‘tulisan Kanada modern’ atau kesusastraan India Barat kontemporer,
istilah tersebut juga dipakai untuk menyebut masa setelah kemerdekaan.
Menurut
Ratna, prefiks “post” tidak semata-mata mengacu pada makna “sesudah” kolonial
atau juga tidak berarti “anti” kolonial. Sesuai dengan pendapat Keith Foulcher
dan Tony Day postkolonial mengacu pada kehidupan masyarakat pascakolonial
tetapi dalam pengertian lebih luas. Sasaran postkolonialisme adalah masyarakat
yang dibayang-bayangi oleh pengalaman kolonialisme. Objek postkolonialisme juga
meliputi karya-karya yang ditulis pada masa berlangsungnya kolonialisme (Ratna,
2008: 150).
Perkembangan Postkolonialisme
Orientalisme – yang secara umum dianggap sebagai
katalisator dan titik referensi bagi poskolonialisme – mewakili tahap pertama
teori postkolonial. Alih-alih membahas kondisi akibat kolonial yang ambivalen,
atau membahas sejarah dan motivasi-motivasi peralatan antikolonial, Orientalisme
lebih tertarik untuk memberi perhatian pada pembuatan makna-makna tekstual
dan diskursif tentang kolonial dan pada konsolidasi hegemoni kolonial.
Sementara ‘analisis wacana kolonial’ saat ini hanyalah suatu aspek dari
postkolianisme, beberapa kritikus poskolonial memperselisihkan kemungkinan
dampaknya pada improvisasi selanjutnya.
Dikaitkan
dengan teori-teori postrukturalisme yang lain, studi poskolonial termasuk
relatif baru. Banyak pendapat yang timbul tentang teori postkolonial, sehingga
cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teori postkolonialisme
lahir (2008: 83-84). Di dunia Anglo Amerika postkolonialisme dirintis oleh
Edward Said. Pertama kali dikemukakan melalui bukunya yang berjudul Orientalism
(1978).
Sebelum
adanya uraian Orientalism oleh Edward Said, postkolonialisme telah
muncul sejak tahun 1960 dengan terbitnya buku-buku karangan Frantz Fanon.
Sedangkan postkolonialisme Indonesia muncul baru sekitar tahun 1990-an
bersamaan dengan munculnya teori postrukturalisme.
Postkolonialisme
Indonesia berasal dari Barat, melalui gagasan-gagasan yang dikembangkan Edward
Said, tetapi objek, kondisi, dan permasalahan yang dibicarakan diangkat melalui
dan di dalam masyarakat Indonesia. Dengan adanya teori postkolonialisme
Indonesia, diharapkan teori-teori baru yang dapat berinteraksi dengan
teori-teori Barat dapat memecahkan persoalan yang ada. Fungsi selanjutnya
dengan adanya teori tersebut adalah adanya kesadaran nasional. Selanjutnya
pengalaman yang pernah ada di Indonesia mengenai hegemoni penjajah terhadap
bangsa Indonesia bisa dijadikan pelajaran untuk menata masa depan yang lebih
baik.
Secara historis postkolonialisme
Indonesia diawali dengan hadirnya dua buku. Pertama, Clearing a Space:
Postcolonial Reading of Modern Indonesian Literature (Keith Foulcher and
Tony Day, ed.), terbit pertama tahun 2002 melalui KITLV Press, Leiden. Tahun
2006 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bernard Hidayat, dengan kata
pengantar Manneke Budiman, berjudul Clearing a Space: Kritik
Pascakolonial tentang Sastra Indonesia Modern, diterbitkan oleh KITLV,
Jakarta. Kedua,
Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas (Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, ed), terbit
pertama kali tahun 2004, melalui penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Objek
kajian postkolonialisme Indonesia yang secara umum mengacu pada postkolonilisme
Barat, mengalami beberapa masalah:
1. Objek
tidak bisa dibatasi secara pasti. Meskipun demikian, dalam ruang lingkup yang
paling sempit, objek postkolonialisme Indonesia adalah masa-masa sesudah
proklamasi. Dalam hal ini, postkolonialisme sama dengan pascakolonialisme.
Secara harfiah, pascakolonialisme Indonesia mulai tanggal 17 Agustus 1945,
sejak diumumkannya Proklamasi kemerdekaan Soekarno dan Hatta.
2. Secara
definitif postkolonialisme adalah teori, pemahaman dalam kaitannya dengan
kondisi-kondisi suatu wilayah negara yang pernah mengalami kolonisasi. Jadi,
objeknya terbentang sejak Belanda tiba pertama kali di Banten (1596) sampai
sekarang.
3. Dengan
mempertimbangkan kaitannya dengan orientalisme, maka objek poskolonialisme
sudah ada sebelum kedatangan bangsa Belanda dan kolonialis lain hingga
sekarang.
Meskipun
ada beberapa masalah dalam kajian postkolonialisme Indonesia seperti uraian di
atas, dalam rangka meningkatkan apresiasi nasional, sekaligus manfaatnya dalam
rangka menopang pembangunan bangsa secara keseluruhan, maka teori-teori
postkolonial Indonesia lebih banyak difokuskan pada butir pertama. Masalah ini
perlu diperhatikan mengingat timbulnya isu nasionalisme di masyarakat.
Model-model Kritis Kajian Kesusastraan Postkolonial
Kajian
sastra postkolonial terdiri atas empat model, yaitu Model nasional dan regional,
model Black Writing, Model perbandingan, dan Model perbandingan yang
lebih luas (Ashcroft; 2003: 1-2).
1. Model nasional dan regional
Kesusastraan
model nasional berkembang pesat pada abad ke-18 di wilayah Amerika Serikat.
Kemunculannya menjadi bagian dari kemajuan optimistik ke arah munculnya
perasaan satu bangsa karena Amerika merupakan salah satu wilayah yang
menunjukkan perbedaan yang jelas dengan Inggris selaku penjajah.
Sastra
model nasional biasanya berisi unsur-unsur kebahasaan dan kebudayaan
negara-negara postkolonial kaitannya dengan penjajah, terlebih menyangkut
perbedaannya. Munculnya kritik dan karya sastra nasional adalah hal yang sangat
penting dalam keseluruhan kajian postkolonial. Tanpa hal tersebut, wacana
postkolonial tidak akan muncul.
Wacana
postkolonial bukan sekadar perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lain,
karena seluruh kajian postkolonial terus bergantung pada munculnya kritik dan
tentu saja kesusastraan nasional. Kajian tradisi-tradisi nasional merupakan
tahap pertama dan paling vital dalam proses penolakan terhadap
tuntutan-tuntutan eksklusivitas pusat. Hal ini merupakan awal dari apa yang
oleh penulis Nigeria, Wole Soyinka, disebut sebagai ‘proses pengenalan-diri’.
Model-model
geografis yang lebih luas yang melintasi batas-batas bahasa, nasionalitas atau
ras menghasilkan konsep kesusastraan regional. Contoh kesusastraan regional
bisa di lihat di India Barat. Meski federasi India Barat gagal terbentuk,
tetapi negara-negara berbahasa Inggris di sana masih dapat membentuk satu tim
kriket regional. India Barat memiliki universitas-unversitas regional yang
memberikan masukan-masukan yang signifikan dalam hal diskusi dan produksi karya
sastra.
2. Model Black Writing
Munculnya
model black writing diawali dengan adanya diskriminasi ras di bidang
ekonomi dan politik. Hal itu memberi gagasan beberapa penulis Afrika dan
Amerika kulit hitam untuk membuat model penulisan black writing. Dalam
perkembangannya, penulisan black writing tidak hanya meliputi
penulis-penulis kulit hitam Afrika maupun Amerika, namun meluas meliputi
Polinesia, Melanesia, Aborigin Australia, bahkan orang-orang Afrika yang
berkulit putih.
Kritik yang
berpusat pada ras terhadap karya sastra kulit hitam dan karya sastra yang
dibuat oleh orang-orang Eropa tentang masyarakat-masyarakat kulit hitam sangat
berpengaruh dalam wacana postkolonial. Konsep Negritude yang
dikembangkan Martinician Aime Cesare (1945) dan Leopold Sedar Sengor adalah
contoh penegasan yang paling nyata tentang kekhasan kualitas kebudayaan dan
identitas warga kulit hitam. Menurut mereka, kebudayaan kulit hitam lebih
bersifat emosional daripada rasional, lebih menekankan integrasi dan kesatuan
daripada pemisahan dan pemotongan, dan ia digerakkan pronsip-prinsip ritmik dan
temporal tertentu.
Para
penulis kulit hitam rata-rata memiliki sikap yang kritis terhadap apa yang
mereka sebut sebagai kategori-kategori baru yang hegemonik semacam
‘kesusastraan persemakmuran’. Sikap kritis ini memaksa para kritikus dan
penulis dari negara-negara jajahan berkulit putih untuk melihat kembali
pendirian-pendirian mereka sendiri terhadap ras dan sikap mereka sendiri yang
kerapkali mendua antara pihak yang dijajah dan sekaligus yang menjajah.
3. Model perbandingan.
Model ini menjelaskan
ciri-ciri linguistik, historis, dan kebudayaan tertentu antara dua
kesusasteraan postkolonial atau lebih dengan cara memperbandingkan beragam
kompleksitasnya.
Ada tiga jenis perbandingan yang
membentuk dasar-dasar wacana postkolonial:
(1) Perbandingan
antar negara diaspora kulit putih, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia,
dan Selandia Baru
(2) Perbandingan antara
wilayah-wilayah diaspora kulit hitam
(3 Perbandingan
yang berusaha menjembatani pengelompokan-pengelompokan di atas, misalnya
kesusastraan India Barat dengan Australia
4.
Model
perbandingan yang lebih luas.
Model
ini lebih mengarah pada hal semacam hibriditas dan sinkretisitas sebagai elemen
pembentuk utama kesusastraan postkolonial.
Hibriditas
berarti hubungan dua kebudayaan dengan identitas yang berbeda. Timbul dalam era
pascakolonial, dalam hal ini budaya dalam bahasa terjajah tidak dapat disajikan
secara murni. Huxley menggunakan istilah mongrel.
Sinkretisitas
mengacu pada artikulasi unsur-unsur yang berbeda. Pada umumnya sinkretisitas
mengacu pada kebudayaan makro. Fungsi adanya sinkresitas adalah menghasilkan
unsur-unsur baru.
Daftar Pustaka
Ratna,
Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ashcroft, Bill dan Gareth Griffiths
dan Helen Tiffin. 2003. Menelanjangi
Kuasa Bahasa Teori dan Praktik Sastra Poskolonial. Diindonesiakan oleh Fati
Soewandi & Agus Mokamat. Yogyakarta: Qalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar