Kamis, 26 Januari 2017

Identitas "Aku" Dalam Cerpen "Aku Pembunuh Munir" Karya Seno Gumira Ajidarma





Menurut saya, tokoh aku dalam cerpen “Aku pembunuh Munir karya Seno Gumira Ajidarma” adalah tokoh yang memiliki sisi baik dan sisi buruk. Ia tidak pernah menyesali perbuatannya ketika membunuh munir, hal demikianlah yang membuat tokoh aku memiliki sifat buruk. dan sifat baiknya ia adalah ayah yang baik bagi keluarganya. Berikut kutipan dari cerpen “Aku, pembunuh Munir”

“Sudah kubilang tadi: aku adalah anjing kurap, jika bukan, aku tidak akan membunuh Munir. Jangan, jangan keburu marah. Aku toh mengatakan di-ri-ku yang membunuh Munir, bukan Tuhan yang membunuhnya melalui diriku, bukan. Jangan marah. Aku tidak mengatakan sudah kodrat Tuhan bahwa Munir harus mati melalui diriku. Tidak. Kalau caranya begitu aku tidak usah dicari-cari dong! Aku juga tidak membela diri dengan mengatakan diriku gelap mata, kerasukan setan, atau segala macam. Tidak. Sekali lagi tidak. Aku membunuhnya dengan penuh kesadaran.” (Ajidarma,2013: 1).

Sebagaimana disebutkan di atas ia pun memiliki sifat baik. Berikut kutipan dari cerpen “Aku, pembunuh Munir”.

“Begitulah, apa boleh buat, istriku terlanjur mengenalku sebagai suami yang meskipun barangkali tidak terlalu baik barangkali juga tidak terlalu buruk. Bersikap baik kepada mertua, menghormati segenap keluarga besarnya, bahkan melakukan sembah-sungkem kepada para sesepuh setiap hari Lebaran ketika mereka masih hidup. Anak-anak takbisa tidak juga hanya akan mengenalku sebagai ayah yang baik, meski takharus terbaik, karena terus terang diriku ini tidak terlalu berbakat menunjukkan kasih sayang. Hmmm. Betapapun, percayalah, aku tidak akan bisa membunuh bayi. Apakah itu berarti aku sebenarnya mempunyai hati yang cukup baik? Mungkin. Kenapa tidak? Tidak seperti perempuan-perempuan yang takpunya hati itu, aku tidak akan membuang bayi ke dalam tong sampah.” (Ajidarma. 2013:5).

Menjadi pertanyaan saya adalah. Mengapa tokoh aku bisa memiliki sifat buruk? Mengapa memiliki sifat baik? Jika menganggap bahwa sastra adalah cermin dari kehidupan. Barangkali hal itu menjadi sudah wajar bahwa manusia memilki sifat buruk dan sifat baik yang selalu tarik-menarik.

Tentu sifat buruk dan sifat baik manusia itu dipengaruhi oleh dunia objektif (dunia realitas yang ada di luar diri manusia), baik itu pengalaman, teman dan keluarga. Jika demikian, maka tidak pantas rasanya tokoh aku dalam cerepen “Aku pembunuh munir” memiliki sifat buruk sebagai pembunuh yang kejam tanpa belas kasih, karena ia dilahirkan dari seorang ibu yang penuh kasih sayang yang tidak pernah mengajarkan tentang seni bunuh orang. Seperti kutipan cerpen berikut.

“Seperti semua orang aku juga dilahirkan seorang ibu. Aku tidak lahir dari pohon, tidak juga dari batu. Aku mohon percayalah, tidak sekalipun ibuku, yang sama mulianya dengan ibu manapun di dunia ini, akan pernah mengatakan bahwa membunuh itu baik. Ibuku mencintai ayahku, ibuku melahirkan aku, menyusui diriku, merawat, mengasuh, dan dengan penuh kasih sayang membesarkan diriku, dan setelah besar aku membunuh Munir.” (Ajidarma, 2013.2).

Walaupun begitu, tokoh aku tampaknya sadar bahwa ia adalah manusia yang dilahirkan dan dibesarkan di keluarga yang penuh cinta, sehingga ia bertanya apakah manusia bisa berubah? Namun, ia tidak bisa menjawab pertanyaannya sendiri karena dia menganggap bahwa dirinya adalah anjing kurap.

“Mungkinkah ini terjadi pada manusia? Mungkin iya, mungkin mestinya tidak, tetapi janganlah bertanya kepadaku, karena seperti telah kukatakan, aku adalah anjing kurap dan hanyalah karena aku anjing kurap maka aku membunuh Munir.” (Ajidarma, 2013:4).

Walaupun demikian, lagi-lagi tokoh aku dihadapkan dengan pernyataan yang tak terduga, meskipun ia bangga membunuh munir dengan penuh kesadaran. Tapi ia pun sangat membenci orang-orang yang berkepentingan yang mengharapkan munir mati. Saya rasa ini aneh dan tidak wajar. Bagaimana bisa tokoh aku yang benar-benar membunuh Munir membenci orang lain yang mengharapkan kematian Munir?

“Ya, memang, betul, tentu saja, takbisa lain, bahwa banyak yang senang, bahkan sungguh-sungguh bahagia, tanpa pernah merasa perlu berterus terang, dengan kematian Munir. Itulah mereka yang ikut teruntungkan, karena kepentingannya yang terselamatkan. Kepentingan apa? Entahlah, tapi sudah pasti berbau busuk, dan mereka tahu bahwa Munir telah mengendusnya. Dasar maling. Ya, maling, yang pekerjaannya mengendap-endap dan mencuri tanpa pernah dipergoki orang. Sekali kepergok, bukannya merasa bersalah, malah menyalahkan orang yang memergokinya. Dasar logika aneh! Namun dari semua keajaiban itu, tidak ada seorang pun yang berpikir seperti aku, bahwa karena aku anjing kurap, maka aku membunuh Munir.” (Ajidarma, 2013:4).

Jika tokoh aku membenci mereka yang ikut teruntungkan karena kematian Munir. Lantas, mengapa tokoh aku membenci mereka? Apa karena mereka itu adalah maling atau koruptor? Menurut saya justru tokoh akulah yang kepentingannya terselamatkan. Karena tokoh aku sebenarnya adalah orang yang di balik penghilangan paksa pada tahun 1998. Berikut kutipan cerpennnya.

“Ya, sejak tahun 1998 itulah kamu telah menantangku. Kamu bongkar kenyataan adanya orang hilang, kamu dorong mereka yang telah dilepaskan untuk bicara, setelah susah dan payah dilakukan intimidasi terhadap para aktivis ingusan itu. Huh! Memang beberapa di antaranya salah culik. Dasar amatir! Tapi ya tidak usah dibongkar-bongkar dong! Eh, nyap-nyap! Asal tahu saja Munir, bukan aku, tapi kamulah yang membuatku memutuskan agar sisanya hilang selama-lamanya.” (Ajidarma. 2013. 2).





























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anwar photo 1_zpsluuuzr7y.png  photo 4_zpslz4lcvhl.png  photo 5_zpsdg2pys8h.png  photo 10_zpsypsudbcm.png  photo 6_zpsewjebclw.png  photo 11_zpswfyhpyxi.png  photo 3_zpskjh4vsz8.png

recent posts

Flickr