Perlawanan budaya merupakan perjuangan
ideologi yang bertentangan agar terjadi sebuah perubahan. Jadi perlawanan
budaya merupakan sebuah perjuangan untuk melakukan perubahan terhadap budaya
yang ada. Perlawanan budaya disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu
penyebab perlawanan tersebut karena tertindasnya seseorang dikarenakan budaya
tersebut. Perlawanan budaya sering kali mengakibatkan terjadinya perubahan pada
budaya yang ada, namun juga tidak jarang mengakibatkan perpecahan antar
individu atau kelompok.
Menurut Azwar (2014:
28), dalam kajian budaya juga dikenal istilah articulation yang dilihat
sebagai proses bagaimana menerima realitas ditentukan oleh banyak sumber. Tidak
semua ideologi yang ada mempunyai posisi yang setara. Di dalam masyarakat kapitalis,
dominasi dilakukan oleh ideologi tertentu dari elit berkuasa. Ideologi dominan
melakukan hegemoni dilawan dengan kelompok-kelompok yang tidak berkuasa.
Hegemoni menjadi proses yang cair sebagai: “theatre of struggle”. Perjuangan
atau pertarungan antara ideologi-ideologi yang bertentangan secara konstan
mengalami perubahan. Interpretasi teks media selalu terjadi dalam struggle
of ideological control. Ada arena kompetitif dimana individu atau kelompok
mengekpresikan kepentingan-kepentingan yang berlawanan dan bertarung bagi
kekuasaan atau kekuatan budaya.
Perlawanan
budaya yang memang belum banyak dilakukan oleh peneliti lain menjadi
permasalahan baru dalam dunia penelitian sehingga menarik untuk dibahas lebih
lanjut. Perlawanan terhadap budaya memang jarang terjadi memingat kebudayaan
merupakan pandangan hidup yang terus dijaga dalam setiap individu maupun
kelompok. Oleh karena itu perlu adanya pembahasan lebih dalam mengenai
permasalahan tersebut. Beberapa contoh kasus perlawanan budaya dapat dilihat pada
beberapa karya sastra Indonesia.
Sastra merupakan bentuk komunikasi
pengarang kepada pembaca. Melalui karya sastra, pengarang menuangkan ide dan
gambaran pengalamannya untuk dinikmati oleh penikmat karya. Berbagai bentuk
tema mewarnai karya sastra, salah satunya yaitu sastra yang bertemakan budaya.
Biasanya keberadaan tema, khususnya tema budaya dalam sebuah karya sastra
dipengaruhi oleh latar belakang pengarang. Berasal dari mana pengarang tersebut
secara tidak langsung akan mempengaruhi karya sastra yang dihasilkannya.
Menurut
Anwar (1997: 43), keberadaan tema tersebut dapat dilihat pada abad ke-20, dunia
kesusastraaan Indonesia didominasi oleh pengarang dari Minangkabau. Kebanyakan
dari mereka mengangkat tema tentang adat istiadat. Salah satu karya sastra yang
menjadi sorotan publik adalah kemunculan seorang pengarang bernama Marah Rusli.
Keberhasilan Marah Rusli dalam mengarang sebuah novel juga banyak menginspirasi
penulis Minang lainnya untuk ikut serta mengetengahkan permasalahan adat. Salah
satu novel yang mengangkat tentang permasalahan adat yaitu novel Memang Jodoh karangan Marah Rusli.
Novel
Memang Jodoh merupakan sebuah novel terbitan Qanita pada
tahun 2013. Novel ini merupakan novel terakhir dari seorang penulis dari
Minangkabau yaitu Marah Rusli. Novel Memang
Jodoh menarik untuk dikaji karena
dalam novel tersebut syarat akan makna, sehingga walaupun termasuk dalam novel
lama, novel tersebut dapat terus dijadikan objek penelitian untuk memperdalam
pemahaman terhadap permasalahan yang ada di dalamnya. Selain hal tersebut dalam novel Memang jodoh ini, Marah Rusli justru
memberikan warna yang berbeda dengan menuangkan pengalaman pribadinya dalam
novel tersebut. Pengalaman tersebut merupakan kisah nyata dirinya yang dituang
dalam sebuah novel. Salah satu pengalaman pribadinya adalah melawan adat. Dalam
novelnya tersebut Marah Rusli menceritakan bahwa adat yang dianut oleh para
priyayi-priyayi Minangkabau tidak selaras dengan kebudayaan pada umumnya.
Minangkabau
sering lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan dari pada sebagai bentuk negara
atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah. Hal itu mungkin karena dalam
catatan sejarah yang dapat dijumpai hanyalah hal pergantian nama kerajaan yang
menguasai wilayah tersebut tidak ada satu catatan yang dapat memberi petunjuk
tentang sistem pemerintahan yang demokratis dengan masyarakatnya yang
berstelsel matrilineal (Navis, 1984: 1).
Kebudayaan
Minangkabau memang sangat beragam. Keberagaman tersebut dijadikan simbol oleh
masyarakat Minangkanau. Mulai dari hal yang bersifat kompleks sampain yang
sederhana. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan kebudayaannya,
masyarakat Minangkabau tentunya memiiliki cara untuk melestarikan kebudayaanya
tersebut. masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal,
artinya sistem kekerabatan tersebut berada pada garis keturunan ibu. Sistem
matrilineal tersebut mengharuskan seorang suami tinggal di rumah istri setelah
menikah. Bahkan dengan kebudayaan semacam ini, suami tidak mempunyai hak atas
anaknya, karena anak merupakan tanggung jawab seorang paman. Oleh karena itu,
harta dan pusaka juga diturunkan dari paman kepada kemenakan. Sehingga setelah
dewasa seorang kemenakan juga harus membayar hutang budi kepada seorang paman
dengan cara menikahi anak perempuan dari pamanya. Jika hal tersebut dilanggar
maka kemenakan harus mengembalikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan paman
kepadanya.
Kebudayaan
Minangkabau yang paling kompleks yaitu ada pada sistem perkawinannya.
Masyarakat Minangkabau memandang masalah perkawinan sebagai suatu peristiwa
yang sangat penting artinya, karena perkawinan tidak hanya menyangkut kedua
calon mempelai saja tetapi juga menyangkut orang tua dan seluruh keluarga dari
kedua belah pihak. Ketentuan adat Minang dan agama khususnya agama Islam
sebagai agama utama suku Minangkabau memang menganjurkan agar wanita mau dan
senang dipoligami. Kaum istri juga harus rukun dan berperilaku baik kepada
istri muda suaminya. Masyarakat Minang mempunyai sistem kekerabatan
matrilineal. Hal ini juga berpengaruh pada sistem perkawinannya. Adat
perkawinan Minang tidak memperbolehkan
laki-laki asli Minang menikah dengan wanita di luar Minang, hal ini
dianggap akan merusak keturunannya.
Walaupun
mengangkat tema tentang budaya daerahnya, justru dalam novelnya ini Marah Rusli
melakukan sebuah perlawanan yang disebabkan adanya kecatatan dalam budaya yang
dianutnya. Diceritakan dalam novel ini, Marah Hamli yang merupakan pria Minang
melawan adatnya sendiri dengan menikahi wanita yang berada di luar suku Minang.
Justru Marah Hamli menikahi seorang wanita Sunda, oleh karena itu
diperbolehkannya Marah Hamli tetap menikah dengan wanita pilihannya tersebut
dengan syarat dia harus menikah lagi dengan wanita Minang. Namun demikian Marah
Hamli tidak bersedia melakukan poligami bukan hanya karena istrinya tidak
merestui dimadu tapi juga dirinya tidak mau membagi kasih sayangnya kepada
orang lain. Bagi Hamli cinta sejati seumur hidupnya hanyalah satu yaitu Din
Wati. Selain hal tersebut, karena seorang Marah Hamli tidak mau menuruti
permintaan pamannya untuk menikahi anak perempuan pamannya, maka Marah Hamli
diminta untuk mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan pamannya untuk
dirinya.
Perlawanan
tidak selalu harus berbentuk kekerasan, hal ini juga yang dilakukan Marah Rusli
terhadap novelnya tersebut. Dalam novel ini terdapat sebuah perlawanan budaya
yang diwakili sendiri oleh Marah Rusli selaku pengarang dan tokoh dalam novel
tersebut. Marah Rusli menggugat adat lapuk priyayi-priyayi Minangkabau yang
menganggap perkawinan antara laki-laki bangsawan Padang dan perempuan daerah
lain sebagai suatu hinaan. Marah rusli merupakan seorang pemuda asli Minang
yang seharusnya ikut menjaga dan menjunjung adat kebudayaanya justru malah
menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap budayanya tersebut. Perlawanan budaya
tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya Marah Rusli menganggap bahwa adat yang
dijunjung tinggi oleh para priyayi-priyayi Minang sudah tidak selaras dengan
perkembangan pada masa itu. Sehingga perlu adanya pembenaran atas
ketidakselarasan tersebut.
Menurut
Hadikusuma (2003: 70), perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti
suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-istri untuk maksud
mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah
tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota
kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat
saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.
Penelitian
ini menjadi penting dilakukan agar masyarakat cermat akan budaya yang saat ini
dilakukan, sehingga tidak selalu menganggap bahwa budaya yang dijalankannya itu
benar. Penelitian ini juga merujuk pada penelitiah terdahulu yang dilakukan
oleh (Azwar, 2014) dengan judul Perlawanan Sastra dalam Koran Indonesia. Dalam
penelitian tersebut juga melakukan perlawanan terhadap budaya, namun bedanya
Azwan lebih menitikberatkan pada perlawanan terhadap orang-orang yang
tertindas, sedangkan dalam penelitian yang diberi nama Perlawana Budaya dalam
Novel Memang Jodoh karya Marah Rusli ini membahas mengenai
perlawanan budaya yang disebabkan karena ketidakselarasan antara budaya yang
dianut masyarakat dengan perkembangan yang telah ada.
Teori antropologi sastra merupakan teori yang tepat
untuk mengkaji permasalahan ini. Teori antropologi sastra digunakan karena
penelitian ini menyangkut tentang kebudayaan dalam kajian karya sastra,
kebudayaan tersebut berupa adat istiadat masyarakat Minangkabau yang terdapat
dalam novel Memang Jodoh. Menurut Ratna (2004: 351),
antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Antropologi sastra
dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya
yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum,
adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra.
Mencermati hal-hal yang
dikemukakan di atas menarik sekali meneliti bagaimana pesan perlawanan budaya
yang dikemukakan oleh Marah Rusli sebagai pengarang sekaligus tokoh. Kisah
tentang perlawanan terhadap adat-adat yang mengatur pernikahan ini
mengakibatkan dirinya terbuang seumur hidup dari tanah kelahirannya.
Daftar Pustaka
Anwar, Chairul.
1997. Hukum Adat Indonesia: Meninjau
Hukum Adat Minangkabau. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar. 2014.
Perlawanan Sastra dalam Cerpen Koran Indonesia. Jurnal Dialektika, Juni 2014, Volume 1, No. 1.
Hadikusuma, Hilman. 1977. Hukum Adat Perkawinan dengan Adat Istiadat
dan Upacara Perkawinannya. Bandung. PT Citra Aditya Bakti.
Ratna, Nyoman Khutha. 2004. Teori, Metode, dan teknik Penelitian sastra. Denpasar:
Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar