Kamis, 26 Januari 2017

Perlawanan Budaya dalam Sastra: Kajian Antropologi Sastra


Perlawanan budaya merupakan perjuangan ideologi yang bertentangan agar terjadi sebuah perubahan. Jadi perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan untuk melakukan perubahan terhadap budaya yang ada. Perlawanan budaya disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu penyebab perlawanan tersebut karena tertindasnya seseorang dikarenakan budaya tersebut. Perlawanan budaya sering kali mengakibatkan terjadinya perubahan pada budaya yang ada, namun juga tidak jarang mengakibatkan perpecahan antar individu atau kelompok.
Menurut Azwar (2014: 28), dalam kajian budaya juga dikenal istilah articulation yang dilihat sebagai proses bagaimana menerima realitas ditentukan oleh banyak sumber. Tidak semua ideologi yang ada mempunyai posisi yang setara. Di dalam masyarakat kapitalis, dominasi dilakukan oleh ideologi tertentu dari elit berkuasa. Ideologi dominan melakukan hegemoni dilawan dengan kelompok-kelompok yang tidak berkuasa. Hegemoni menjadi proses yang cair sebagai: “theatre of struggle”. Perjuangan atau pertarungan antara ideologi-ideologi yang bertentangan secara konstan mengalami perubahan. Interpretasi teks media selalu terjadi dalam struggle of ideological control. Ada arena kompetitif dimana individu atau kelompok mengekpresikan kepentingan-kepentingan yang berlawanan dan bertarung bagi kekuasaan atau kekuatan budaya.
Perlawanan budaya yang memang belum banyak dilakukan oleh peneliti lain menjadi permasalahan baru dalam dunia penelitian sehingga menarik untuk dibahas lebih lanjut. Perlawanan terhadap budaya memang jarang terjadi memingat kebudayaan merupakan pandangan hidup yang terus dijaga dalam setiap individu maupun kelompok. Oleh karena itu perlu adanya pembahasan lebih dalam mengenai permasalahan tersebut. Beberapa contoh kasus perlawanan budaya dapat dilihat pada beberapa karya sastra Indonesia.  
Sastra merupakan bentuk komunikasi pengarang kepada pembaca. Melalui karya sastra, pengarang menuangkan ide dan gambaran pengalamannya untuk dinikmati oleh penikmat karya. Berbagai bentuk tema mewarnai karya sastra, salah satunya yaitu sastra yang bertemakan budaya. Biasanya keberadaan tema, khususnya tema budaya dalam sebuah karya sastra dipengaruhi oleh latar belakang pengarang. Berasal dari mana pengarang tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi karya sastra yang dihasilkannya.
Menurut Anwar (1997: 43), keberadaan tema tersebut dapat dilihat pada abad ke-20, dunia kesusastraaan Indonesia didominasi oleh pengarang dari Minangkabau. Kebanyakan dari mereka mengangkat tema tentang adat istiadat. Salah satu karya sastra yang menjadi sorotan publik adalah kemunculan seorang pengarang bernama Marah Rusli. Keberhasilan Marah Rusli dalam mengarang sebuah novel juga banyak menginspirasi penulis Minang lainnya untuk ikut serta mengetengahkan permasalahan adat. Salah satu novel yang mengangkat tentang permasalahan adat yaitu novel Memang Jodoh karangan Marah Rusli.
Novel Memang Jodoh  merupakan sebuah novel terbitan Qanita pada tahun 2013. Novel ini merupakan novel terakhir dari seorang penulis dari Minangkabau yaitu Marah Rusli. Novel Memang Jodoh  menarik untuk dikaji karena dalam novel tersebut syarat akan makna, sehingga walaupun termasuk dalam novel lama, novel tersebut dapat terus dijadikan objek penelitian untuk memperdalam pemahaman terhadap permasalahan yang ada di dalamnya.  Selain hal tersebut dalam novel Memang jodoh ini, Marah Rusli justru memberikan warna yang berbeda dengan menuangkan pengalaman pribadinya dalam novel tersebut. Pengalaman tersebut merupakan kisah nyata dirinya yang dituang dalam sebuah novel. Salah satu pengalaman pribadinya adalah melawan adat. Dalam novelnya tersebut Marah Rusli menceritakan bahwa adat yang dianut oleh para priyayi-priyayi Minangkabau tidak selaras dengan kebudayaan pada umumnya.
Minangkabau sering lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan dari pada sebagai bentuk negara atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah. Hal itu mungkin karena dalam catatan sejarah yang dapat dijumpai hanyalah hal pergantian nama kerajaan yang menguasai wilayah tersebut tidak ada satu catatan yang dapat memberi petunjuk tentang sistem pemerintahan yang demokratis dengan masyarakatnya yang berstelsel matrilineal (Navis, 1984: 1).
Kebudayaan Minangkabau memang sangat beragam. Keberagaman tersebut dijadikan simbol oleh masyarakat Minangkanau. Mulai dari hal yang bersifat kompleks sampain yang sederhana. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan kebudayaannya, masyarakat Minangkabau tentunya memiiliki cara untuk melestarikan kebudayaanya tersebut. masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, artinya sistem kekerabatan tersebut berada pada garis keturunan ibu. Sistem matrilineal tersebut mengharuskan seorang suami tinggal di rumah istri setelah menikah. Bahkan dengan kebudayaan semacam ini, suami tidak mempunyai hak atas anaknya, karena anak merupakan tanggung jawab seorang paman. Oleh karena itu, harta dan pusaka juga diturunkan dari paman kepada kemenakan. Sehingga setelah dewasa seorang kemenakan juga harus membayar hutang budi kepada seorang paman dengan cara menikahi anak perempuan dari pamanya. Jika hal tersebut dilanggar maka kemenakan harus mengembalikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan paman kepadanya.
Kebudayaan Minangkabau yang paling kompleks yaitu ada pada sistem perkawinannya. Masyarakat Minangkabau memandang masalah perkawinan sebagai suatu peristiwa yang sangat penting artinya, karena perkawinan tidak hanya menyangkut kedua calon mempelai saja tetapi juga menyangkut orang tua dan seluruh keluarga dari kedua belah pihak. Ketentuan adat Minang dan agama khususnya agama Islam sebagai agama utama suku Minangkabau memang menganjurkan agar wanita mau dan senang dipoligami. Kaum istri juga harus rukun dan berperilaku baik kepada istri muda suaminya. Masyarakat Minang mempunyai sistem kekerabatan matrilineal. Hal ini juga berpengaruh pada sistem perkawinannya. Adat perkawinan Minang tidak memperbolehkan  laki-laki asli Minang menikah dengan wanita di luar Minang, hal ini dianggap akan merusak keturunannya.
Walaupun mengangkat tema tentang budaya daerahnya, justru dalam novelnya ini Marah Rusli melakukan sebuah perlawanan yang disebabkan adanya kecatatan dalam budaya yang dianutnya. Diceritakan dalam novel ini, Marah Hamli yang merupakan pria Minang melawan adatnya sendiri dengan menikahi wanita yang berada di luar suku Minang. Justru Marah Hamli menikahi seorang wanita Sunda, oleh karena itu diperbolehkannya Marah Hamli tetap menikah dengan wanita pilihannya tersebut dengan syarat dia harus menikah lagi dengan wanita Minang. Namun demikian Marah Hamli tidak bersedia melakukan poligami bukan hanya karena istrinya tidak merestui dimadu tapi juga dirinya tidak mau membagi kasih sayangnya kepada orang lain. Bagi Hamli cinta sejati seumur hidupnya hanyalah satu yaitu Din Wati. Selain hal tersebut, karena seorang Marah Hamli tidak mau menuruti permintaan pamannya untuk menikahi anak perempuan pamannya, maka Marah Hamli diminta untuk mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan pamannya untuk dirinya.
Perlawanan tidak selalu harus berbentuk kekerasan, hal ini juga yang dilakukan Marah Rusli terhadap novelnya tersebut. Dalam novel ini terdapat sebuah perlawanan budaya yang diwakili sendiri oleh Marah Rusli selaku pengarang dan tokoh dalam novel tersebut. Marah Rusli menggugat adat lapuk priyayi-priyayi Minangkabau yang menganggap perkawinan antara laki-laki bangsawan Padang dan perempuan daerah lain sebagai suatu hinaan. Marah rusli merupakan seorang pemuda asli Minang yang seharusnya ikut menjaga dan menjunjung adat kebudayaanya justru malah menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap budayanya tersebut. Perlawanan budaya tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya Marah Rusli menganggap bahwa adat yang dijunjung tinggi oleh para priyayi-priyayi Minang sudah tidak selaras dengan perkembangan pada masa itu. Sehingga perlu adanya pembenaran atas ketidakselarasan tersebut.
Menurut Hadikusuma (2003: 70), perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti  berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.
Penelitian ini menjadi penting dilakukan agar masyarakat cermat akan budaya yang saat ini dilakukan, sehingga tidak selalu menganggap bahwa budaya yang dijalankannya itu benar. Penelitian ini juga merujuk pada penelitiah terdahulu yang dilakukan oleh (Azwar, 2014) dengan judul Perlawanan Sastra dalam Koran Indonesia. Dalam penelitian tersebut juga melakukan perlawanan terhadap budaya, namun bedanya Azwan lebih menitikberatkan pada perlawanan terhadap orang-orang yang tertindas, sedangkan dalam penelitian yang diberi nama Perlawana Budaya dalam Novel Memang Jodoh  karya Marah Rusli ini membahas mengenai perlawanan budaya yang disebabkan karena ketidakselarasan antara budaya yang dianut masyarakat dengan perkembangan yang telah ada.
Teori antropologi sastra merupakan teori yang tepat untuk mengkaji permasalahan ini. Teori antropologi sastra digunakan karena penelitian ini menyangkut tentang kebudayaan dalam kajian karya sastra, kebudayaan tersebut berupa adat istiadat masyarakat Minangkabau yang terdapat dalam novel  Memang Jodoh. Menurut Ratna (2004: 351), antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra.
Mencermati hal-hal yang dikemukakan di atas menarik sekali meneliti bagaimana pesan perlawanan budaya yang dikemukakan oleh Marah Rusli sebagai pengarang sekaligus tokoh. Kisah tentang perlawanan terhadap adat-adat yang mengatur pernikahan ini mengakibatkan dirinya terbuang seumur hidup dari tanah kelahirannya.


Daftar Pustaka
Anwar, Chairul. 1997. Hukum Adat Indonesia: Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Jakarta: Rineka Cipta.
 Azwar. 2014. Perlawanan Sastra dalam Cerpen Koran Indonesia. Jurnal Dialektika, Juni 2014, Volume 1, No. 1.
Hadikusuma, Hilman. 1977. Hukum Adat Perkawinan dengan Adat Istiadat dan Upacara Perkawinannya. Bandung. PT Citra Aditya Bakti.
Ratna, Nyoman Khutha. 2004.  Teori, Metode, dan teknik Penelitian sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anwar photo 1_zpsluuuzr7y.png  photo 4_zpslz4lcvhl.png  photo 5_zpsdg2pys8h.png  photo 10_zpsypsudbcm.png  photo 6_zpsewjebclw.png  photo 11_zpswfyhpyxi.png  photo 3_zpskjh4vsz8.png

recent posts

Flickr