Rabu, 04 April 2018

Identitas Kultural dalam Puisi “Ibu Indonesia” Karya Sukmawati Soekarnoputri: Apakah Puisi “Ibu Indonesia” Melecehkan Islam?


 Pinterest



 Muhammad Rifa’ie. S, Pd.
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta


Perihal Puisi dan Cara Memaknainya
Beberapa hari terakhir ini puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati Soekarnoputri yang dibaca dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 telah menjadi perdebatan yang kontroversial. Puisi ini dianggap mengandung unsur SARA oleh beberapa golongan masyarakat. Namun anggapan seperti itu kiranya perlu ditinjau kembali dengan cara analisis puisi Ibu Indonesia melalui pendekatan yang relevan sebagai upaya untuk mengetahui makna dari puisi tersebut. Oleh sebab itu tujuan penulisan artikel ini ialah untuk mengetahui makna yang tersirat dari puisi Ibu Indonesia melalui metode Analisis Isi Kualitatif (Qualitative Content Analysis).
Analisis Isi Kualitatif (Qualitative Content Analysis) merupakan penelitian yang mengaji dan membahas tentang isi teks dengan cara memberikan interpretasi atas teks yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penelitian. Hal tersebut dinilai valid untuk menganalisis teks sastra. Menurut  Krippendorff (dalam Mayring: 2000) “Content analysis as the use of replicable and valid method for making specific inferences from text to other states or properties of its source”. Sebab itu kiranya dengan menggunakan metode ini, maka dapat menghindari penafsiran sewenang-wenang atas teks puisi.
Puisi: Antara Imajinasi dan Kenyataan
Puisi merupakan wujud dari pengalaman imajinatif yang dikomunikasikan melalui bahasa sebagai sarana utama untuk menyampaikan gagasan. Pengalaman tersebut bisa saja merupakan hasil dari pengalaman imajinatif maupun pengalaman nyata seorang pengarang. Maksud dari pengalaman nyata ialah puisi merupakan rekam jejak daripada sejarah, dengan kata lain puisi tidak hadir karena kekosongan budaya sebab itu puisi ialah “dunia dalam kata”. Hal itu senada dengan pendapat Waluyo (1991: 3) yang menyatakan bahwa puisi ... memotret zaman tertentu dan akan menjadi refleksi zaman tertentu pula,” dengan demikian, teks puisi bukanlah sekedar teks estetis, tetapi selain itu juga teks puisi adalah teks sastra yang bermakna, memiliki nilai-nilai kehidupan, kebudayaan, ideologi serta memiliki berbagai nilai-nilai kehidupan lainnya yang terdapat dalam kehidupan nyata.
Bahasa dan budaya (baca: sastra) adalah dua hal yang tidak terpisahkan; bahasa adalah bagian dan sekaligus merupakan aspek terpenting dari suatu budaya. Jika budaya dikatakan sebagai konstruk mental yang memungkinkan orang untuk bertahan hidup dan sekaligus sebagai cara hidup konstruk itu secara konkret termanifestasikan terutama lewat bahasa. (Brown, melalui Nurgiyantoro, 2014).
Apakah Puisi Ibu Indonesia Melecehkan Islam?
Muncul satu pertanyaan yang mendasar, ketika setiap kali selesai membaca puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati. Pertanyaan itu ialah mengapa judul puisi itu diberi judul “Ibu Indonesia” mengapa tidak “Ayah Indonesia” saja?
Kata ibu adalah bahasa metafor untuk mengonstruksi suatu gagasan ideologis terkait dengan kesetaraan gender yang bermakna bahwa perempuan memiliki peran penting sebagaimana juga laki-laki dalam pembangunan bangsa. Kata ibu pun berafiliasi dengan kata ibu pertiwi, ibu bumi, dewi bumi dalam istilah-istilah patriotik.  Ibu menjadi sosok yang sangat dicintai, tempat lahir, tempat kembali, dan segala perlambangan kasih sayang dan cinta kasih untuk anak-anaknya (bangsa). Sebab itu ibu adalah  sosok pahlawan bagi seluruh penduduk Indonesia.
Sementara kata Indonesia merujuk kepada konsep tempat atau lokalisasi yang secara sederhana dapat diidentifikasi sebagai lingkungan, yaitu segala apa pun yang berada dalam ruang lingkup sosiokultural baik dalam wujud sifatnya yang geografis, mistis, fisik maupun psikologis. Menurut Sayuti (2014:21) konsep “tempat” ini membuat jarak ontologis antara manusia dengannya. Jarak ini penting dalam rangka pemahaman dan realisasi-diri. Tanpa jarak di antaranya, kita cenderung rumangsa-bisa, sudah merasa bisa memahaminya dengan baik, dan bersamaan dengannya kita pun kehilangan kepekaan yang disebut sadar-tempat. Oleh karena itu “tempat” atau lingkungan tempat tinggal memainkan peran penting untuk melacak atau mengonstruksi identitas manusia: siapakah kita. kesadaran manusia berkembang berdasarkan dalam, dengan, dan melalui tempat yang menjadi lingkungan kita.[1] Oleh sebab itu Wendel Berry menyatakan bahwa “untuk mengetahui sipa dirimu, ketahuilah pertama kali, di manakah kamu berada”.[2]
Kesadaran tempat (Indonesia) ini menegaskan posisi subjek (Ibu) sebagai lanskap tempat dan identitas, sementara konde dan kidung sebagai properti identitas kultural yang melekat kepada diri subjek. Subjek Ibu Indonesia adalah konsep yang abstrak, ia tidak mengacu kepada manusia, namun lebih mengacu pada suatu gagasan yang bersifat ideologis yaitu suatu dimensi ruang yang berisi wacana kebangsaan, persatuan dan keberagaman. Hal itu ditunjukkan dalam kutipan  Lihatlah ibu Indonesia, Rasa ciptanya sangatlah beraneka, Menyatu dengan kodrat alam sekitar. sementara itu, Dalam puisi Ibu Indonesia pada bait pertama terdapat kutipan:

Ku tak tahu Syariat Islam,
yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah,
lebih cantik dari cadar dirimu.

Pada baris pertama terdapat kata ku sebagai tokoh dalam teks puisi Ibu Indonesia. Sebagaimana tokoh dalam karya sastra, tokoh dalam puisi merupakan pelaku cerita atau pelaku yang dikenai cerita, menjalankan fungsinya sesuai kodrat yang telah digariskan oleh penulis. Sederhananya aku tidak mengacu kepada pengarang atau penulis. Tetapi aku mengacu kepada aku-aku (individu) yang lain di dalam kehidupan nyata (lingkungan masyarakat Indonesia). Tokoh aku menyatakan bahwa ia tidak mengetahui tentang persoalan cadar dalam syariat Islam, tetapi ia hanya mengetahui konde ibu Indonesia.
Pertanyaannya adalah. Kapankah perilaku bercadar dan berkonde dikenal oleh masyarakat Indonesia? apakah masyarakat indonesia kesemuanya menggunakan cadar? Apakah masyarakat Indonesia kesemuanya menggunakan konde? Untuk menjawab pertanyaan itu tentu sangatlah sulit karena berhubungan dengan penelitian yang lebih kompleks.
Namun ada beberapa tulisan yang dinilai berkontribusi untuk menjawab pertanyaan di atas. Misalnya penelitian Daud (2013) yang berjudul Jilbab, Hijab dan Aurat Perempuan: Antara Tafsir Klasik, Tafsir Kontemporer dan Pandangan Muslim Feminis, penelitian ini mengungkapkan bahwa “istilah cadar (termasuk juga jilbab)[3] Seiring perkembangan budaya dan ghirah keislaman mulai dikenal di Indonesia. Namun penerimaan jilbab di negeri ini pada awalnya bukan tanpa masalah. Dalam konteks masyarakat Indonesia istilah “jilbab” masih berbau asing ... Pada permulaan 1980an, jilbab (baik sebagai fashion atau istilah) mulai dikenal di negeri ini.”
Tren jilbab ini salah satunya dipengaruhi oleh pemikiran al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan revolusi Iran serta kebijakan Orde Baru pada tahun 1980an untuk mengakomodasi kepentingan politik dari masyarakat muslim Indonesia. Setelah itu, persisnya tahun 1991, pemerintah mengeluarkan peraturan yang membolehkan para pelajar memakai pakaian seragam Muslimah (jilbab).[4]
Cadar atau jilbab memiliki fungsi yang bermacam-macam, salah satunya ialah menutup aurat sebagai bentuk kepatuhan kepada Tuhan. Selain itu juga cadar memiliki fungsi sosial untuk menjaga keamanan tubuh dari segala macam bentuk ancaman dari luar, juga di sisi lain cadar maupun hijab memiliki nilai estetis yang merupakan lambang daripada kecantikan, keindahan dan kehormatan.
Sementara konde (dalam istilah lain disebut sebagai sanggul) menurut Rostamailis, dkk. dalam bukunya yang berjudul Tata Kecantikan Rambut Jilid 2: Untuk Sekolah Menengah Kejuruan (2008),konde telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman Pakubuwono X (1893 – 1939), hampir semua segi kebudayaan mencapai titik kesempurnaan, termasuk seni tata rias rambut. Oleh karena itu, bentuk sanggul tradisional ini pun semakin disempurnakan.” (Rostamalis,dkk. 2008:270).
Begitu juga dalam tulisan Asi Tritanti dan Eni Juniastuti (2011) yang berjudul Keterkaitan Karakter Sanggul Berbagai Daerah dengan Nilai-Nilai Budaya mengungkapkan bahwa “konde (khsusnya Sanggul Nyimas Gamparan Banten) telah ditemukan dan disimpan di Gedung Arkeolegi Banten pada abad 17-18 yaitu pada zaman kecemerlangan Sultan Ageng Tirtayasa.” (dalam Tritanti, A. & Juniastuti, E. 2011).
Menurut Asi Tritanti dan Eni Juniastuti perilaku bersanggul pada dasarnya telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia, misalnya masyarakat Lampung mempunya kebiasaan bersanggul yang dikenal dengan istilah Belattung Gelang, Riau mengenal sanggul dengan istilah Siput Ekor Kre, sementara Banten mengenal sanggul dengan istilah Sanggul Nyimas Gamparan. Jawa Barat mengenal sanggul dengan istilah Ciwidey, daerah D.I.Y. Yogyakarta disebut Ukel Tekuk, sementara sanggul di daerah Minahasa terdari atas Sanggul Manado, Sanggul Gorontalo, Sanggul Bolaang Mongondow, Sanggul Sangir Talaud, dan sanggul daerah Bugis-Sulawesi Selatan disebut Simpolong Tattong, Kalimantan Barat disebut Dendeng, Kalimantan Timur disebut Gelong Tali Kuantan, Kalimantan Selatan disebut Rangkap, Kalimanan Tengah disebut Jambul Lipet, Nusa Tenggara Timur disebut Lenggeng, Nusa Tenggara Barat disebut Samu Mbanta, Maluku Utara disebut sebagai Sanggul Ekor Burung.[5]
Berdasarkan paparan di atas, kebiasaan bersanggul telah melekat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, demikian juga perilaku bersanggul ini memiliki nilai-nilai filosofis-religius seperti halnya Sanggul Nyimas Gamparan-Banten[6].
Masyarakat Banten memasang bermacam-macam sanggul lengkap dengan ornamen/perhiasan. Masing-masing ornamen menurut adat memiliki nilai-nilai budaya, antara lain: 1). Sentog atau rambut panjang berarti pemakainya terus mengharap rizki dan ridho Allah tanpa putus. 2) Sigang memiliki arti dapat memperindah bentuk wajah, 3) Sungki berarti seorang wanita harus bangkit, bahu-membahu dalam bekerja dan harus bisa mandiri. Bentuk daun pada sungki berarti lambang kesuburan/pelestarian hutan, 4) Warna Emas pada sungki melambang kejayaan Banten, yang memang mempunyai tambang emas di Cikotok, sedangkan Rambang memiliki arti menghemat rizki.
Demikian karenanya, Tokoh aku dalam puisi Ibu Indonesia pada dasarnya tidak menolak cadar (Syariat Islam), tokoh aku lebih dahulu mengenal istilah konde sebelum cadar, pada hakikatnya pun konde sebagaimana cadar memiliki nilai-nilai kebaikan, nilai religius, dan nilai sosial untuk mendekatkan diri kepada Tuhan serta bersosial dengan lingkungan sekitar sebagaimana ditunjukkan dalam kutipan Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah, Rasa ciptanya sangatlah beraneka, Menyatu dengan kodrat alam sekitar, Jari jemarinya berbau getah hutan, Peluh tersentuh angin laut. Gemulai gerak tarinya adalah ibadah, Semurni irama puja kepada Illahi, Nafas doanya berpadu cipta, Helai demi helai benang tertenun, Lelehan demi lelehan damar mengalun, Canting menggores ayat ayat alam surgawi
Selain itu nilai-nilai sosio-religius ini juga diperkuat oleh penyebutan diksi “Kidung” Istilah kidung menurut Ricklefs (melalui Nurhata, 2017) kebanyakan dipakai untuk menyebut naskah-naskah Jawa Tengahan, yang pada umumnya mengisahkan legenda-legenda romantis tentang era Majapahit, seperti Kidung Hariwangsa, Kidung Rangga Lawe, Kidung Sunda, dan Kidung Sorandaka. Selain itu terdapat juga kidung yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa, kidung itu adalah Kidung Nabi. Cara menyanyikannya dengan pupuh (tembang) dandanggula. Kidung Nabi (ini juga termasuk tembang Lir-Ilir, Lamon Sira Menék, dan Cupu Manik Astagina) diyakini sebagai ciptaan Sunan Kalijaga. Kidung nabi itu secara umum berisi tetang ketuhanan, kemanusian, dan alam.
Sebab itu tokoh aku dalam puisi Ibu Indonesia tidak menolak ataupun melecehkan ajaran cadar maupun pengumandangan adzan. Pada dasarnya cadar, konde, adzan dan kidung sama-sama memiliki nilai yang luhur, nilai kebaikan tentang ketuhanan, kemanusiaan dan alam. Sementara pengarang (Sukmawati) mencoba mengangkat persoalan identitas kultural ini sebagai intropeksi diri agar nilai-nilai kearifan lokal tetap dilestarikan sebagai wujud kecintaan terhadap bangsa dan negara. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan,

Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

Nilai-nilai kearifan ini perlu dilestarikan untuk menjaga identitas bangsa, serta memupuk nilai-nilai kebaikan yang dapat bermanfaat terhadap perbaikan perilaku dan moral masyarakat Indonesia. Menurut Michael R. Dove (melalui Abdullah, 2014: 51) kebudayaan tradisional sering keliru dipersepsikan oleh sebagian orang dalam pembangunan, atau modernisasi. Padahal sebenarnya terkait erat dengan proses sosial, ekonomis dan ekologis masyarakat secara mendasar.
Dalam hal ini, Pengarang (Sukmawati) telah membangun akan pentingnya  kesadaran kearifan lokal dan identitas kultural dengan cara menentukan posisinya dalam keterhubungan antara, kebudayaan, keberagaman, sejarah peradaban, ketuhanan, kemanusiaan dan kebijaksanaan, sederhananya pengarang telah menghidupkan kembali nilai-nilai luhur itu dalam proses kreatifitas puisi agar orang-orang dapat merenungi dan mengambil pelajaran daripadanya.


Referensi:
Abdullah, W. (2014) Kearifan Lokal Petani dan Persepsinya Terhadap Pekerjaan Nonpetani di Kab.Ngawi (Kajian Etnolinguistik. Dalam Wiyatmi (Eds.), Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme (hlm. 49-61). Yogyakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. 

Daud, K.F. (2013). Jilbab, Hijab dan Aurat Perempuan (Antara Tafsir Klasik, Tafsir Kontemporer dan Pandangan Muslim Feminis). AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman. 3 (1).

Mayring, P. 2000. Qualitative Content Analysis. (online). (http://www.qualitative-research.net/index.php/fqs/article/viewArticle/1089/2385). 1 (02), diakses 04 April 2018.

Nurhata. (2017).  Naskah Kidung Nabi: Analisis Tema dan Fungsi Sosial. META SASTRA Jurnal Penelitian Sastra. 10 (1), (online), (DOI 10.26610/metasastra.2017.v10i1.45—56), diakses 04 April 2018.

Nurgiyantoro, B. (2014). Penggunaan Ungkapan Jawa dalam Kumpulan Puisi Tirta Kamandanu Karya Linus Suryadi (Pendekatan Stilistika Kultural). Litera: 13(2). (online), (http://dx.doi.org/10.21831/ltr.v13i2.2575), diakses 04 April 2018.

Rostamalis, dkk. (2008). Tata Kecantikan Rambut Jilid 2: Untuk Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta:  Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan- Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah-Departemen Pendidikan Nasional.

Sayuti, A.S. (2014) Suara Alam dalam “Puisi Karawitan” Narto Sabdo: Dimanakah Posisi Manusia? dalam Wiyatmi (Eds.), Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme (hlm. 21-29). Yogyakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. 

Tritanti, A. & Juniastuti, E. (2011). Keterkaitan Karakter Sanggul Berbagai Daerah dengan Nilai-Nilai Budaya. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional studi Tata Rias dan Kecantikan, Yogyakarta 2011. Dalam Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta, (Online), (http://staffnew.uny.ac.id/staff/132310881), diakses 04 April 2018.

Waluyo, H. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.



                                                  









[1] Lihat Sayuti (2014) Suara Alam dalam Puisi Karawitan Narto Sabdo: dimankah posisi manusia? hlm. 22. Thn. 2014
[2]Ibid. Sayuti, Thn. 2014
[3] Lihat El-Guindi (Melalui Daud, 2013:2), Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia atau semakna dengan tudung di Malaysia dan Singapora. Di beberapa negara yang mayoritas Islam, jilbab merupakan sejenis pakaian panjang (busana muslimah) yang dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, burnus di Maghribi, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abayah di Iraq, charshaf di Turki, Galabeyyah di Mesir, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman dan sebagainya.
[4] Ibid, (2013: 4) Dalam pengertian ini cadar termasuk di dalamnya. Kata cadar berasal dari  bahasa Parsi chador yang berarti ―tenda (tent). Dalam tradisi Iran chador itu berarti ―sepotong pakaian serba membungkus yang menutupi seorang wanita dari kepala hingga ujung kaki.
[5] Lihat juga Rostamailis, dkk. Thn. 2008. Tata Kecantikan Rambut Jilid 2: Untuk Sekolah Menengah Kejuruan
[6] Lihat Asi Tritanti dan Eni Juniastuti. Thn. 2011. “Keterkaitan Karakter Sanggul Berbagai Daerah Dengan Nilai-Nilai Budaya

1 komentar:

anwar photo 1_zpsluuuzr7y.png  photo 4_zpslz4lcvhl.png  photo 5_zpsdg2pys8h.png  photo 10_zpsypsudbcm.png  photo 6_zpsewjebclw.png  photo 11_zpswfyhpyxi.png  photo 3_zpskjh4vsz8.png

recent posts

Flickr