Pinterest
Muhammad
Rifa’ie. S, Pd.
Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Perihal Puisi dan Cara Memaknainya
Beberapa
hari terakhir ini puisi Ibu Indonesia
karya Sukmawati Soekarnoputri yang dibaca dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 telah menjadi perdebatan yang
kontroversial. Puisi ini dianggap mengandung unsur SARA oleh beberapa golongan
masyarakat. Namun anggapan seperti itu kiranya perlu ditinjau kembali dengan cara
analisis puisi Ibu Indonesia melalui
pendekatan yang relevan sebagai upaya untuk mengetahui makna dari puisi
tersebut. Oleh sebab itu tujuan penulisan artikel ini ialah untuk mengetahui makna
yang tersirat dari puisi Ibu Indonesia
melalui metode Analisis Isi Kualitatif (Qualitative
Content Analysis).
Analisis
Isi Kualitatif (Qualitative Content
Analysis) merupakan penelitian yang mengaji dan membahas tentang isi teks
dengan cara memberikan interpretasi atas teks yang telah ditentukan sesuai
dengan tujuan penelitian. Hal tersebut dinilai valid untuk menganalisis teks
sastra. Menurut Krippendorff (dalam
Mayring: 2000) “Content analysis as the
use of replicable and valid method for making specific inferences from text to
other states or properties of its source”. Sebab itu kiranya dengan
menggunakan metode ini, maka dapat menghindari penafsiran sewenang-wenang atas
teks puisi.
Puisi: Antara Imajinasi dan Kenyataan
Puisi
merupakan wujud dari pengalaman imajinatif yang dikomunikasikan melalui bahasa
sebagai sarana utama untuk menyampaikan gagasan. Pengalaman tersebut bisa saja
merupakan hasil dari pengalaman imajinatif maupun pengalaman nyata seorang
pengarang. Maksud dari pengalaman nyata ialah puisi merupakan rekam jejak
daripada sejarah, dengan kata lain puisi tidak hadir karena kekosongan budaya
sebab itu puisi ialah “dunia dalam kata”. Hal itu senada dengan pendapat Waluyo
(1991: 3) yang menyatakan bahwa puisi ... memotret zaman tertentu dan akan
menjadi refleksi zaman tertentu pula,” dengan demikian, teks puisi bukanlah sekedar
teks estetis, tetapi selain itu juga teks puisi adalah teks sastra yang
bermakna, memiliki nilai-nilai kehidupan, kebudayaan, ideologi serta memiliki berbagai
nilai-nilai kehidupan lainnya yang terdapat dalam kehidupan nyata.
Bahasa
dan budaya (baca: sastra) adalah dua hal yang tidak terpisahkan; bahasa adalah
bagian dan sekaligus merupakan aspek terpenting dari suatu budaya. Jika budaya
dikatakan sebagai konstruk mental yang memungkinkan orang untuk bertahan hidup
dan sekaligus sebagai cara hidup konstruk itu secara konkret termanifestasikan terutama
lewat bahasa. (Brown, melalui Nurgiyantoro, 2014).
Apakah Puisi Ibu
Indonesia Melecehkan Islam?
Muncul
satu pertanyaan yang mendasar, ketika setiap kali selesai membaca puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati.
Pertanyaan itu ialah mengapa judul puisi itu
diberi judul “Ibu Indonesia” mengapa tidak “Ayah Indonesia” saja?
Kata
ibu adalah bahasa metafor untuk
mengonstruksi suatu gagasan ideologis terkait dengan kesetaraan gender yang
bermakna bahwa perempuan memiliki peran penting sebagaimana juga laki-laki
dalam pembangunan bangsa. Kata ibu pun
berafiliasi dengan kata ibu pertiwi, ibu
bumi, dewi bumi dalam istilah-istilah patriotik. Ibu
menjadi sosok yang sangat dicintai, tempat lahir, tempat kembali, dan segala
perlambangan kasih sayang dan cinta kasih untuk anak-anaknya (bangsa). Sebab
itu ibu adalah sosok pahlawan bagi
seluruh penduduk Indonesia.
Sementara
kata Indonesia merujuk kepada konsep
tempat atau lokalisasi yang secara sederhana dapat diidentifikasi sebagai
lingkungan, yaitu segala apa pun yang berada dalam ruang lingkup sosiokultural
baik dalam wujud sifatnya yang geografis, mistis, fisik maupun psikologis.
Menurut Sayuti (2014:21) konsep “tempat” ini membuat jarak ontologis antara
manusia dengannya. Jarak ini penting dalam rangka pemahaman dan realisasi-diri.
Tanpa jarak di antaranya, kita cenderung rumangsa-bisa,
sudah merasa bisa memahaminya dengan baik, dan bersamaan dengannya kita pun
kehilangan kepekaan yang disebut sadar-tempat. Oleh karena itu “tempat” atau lingkungan
tempat tinggal memainkan peran penting untuk melacak atau mengonstruksi
identitas manusia: siapakah kita. kesadaran manusia berkembang berdasarkan
dalam, dengan, dan melalui tempat yang menjadi lingkungan kita.[1] Oleh
sebab itu Wendel Berry menyatakan bahwa “untuk mengetahui sipa dirimu,
ketahuilah pertama kali, di manakah kamu berada”.[2]
Kesadaran
tempat (Indonesia) ini menegaskan posisi subjek (Ibu) sebagai lanskap tempat
dan identitas, sementara konde dan kidung sebagai properti identitas
kultural yang melekat kepada diri subjek. Subjek Ibu Indonesia adalah konsep yang abstrak, ia tidak mengacu kepada
manusia, namun lebih mengacu pada suatu gagasan yang bersifat ideologis yaitu
suatu dimensi ruang yang berisi wacana kebangsaan, persatuan dan keberagaman.
Hal itu ditunjukkan dalam kutipan Lihatlah ibu Indonesia, Rasa ciptanya sangatlah beraneka, Menyatu
dengan kodrat alam sekitar. sementara itu, Dalam puisi Ibu Indonesia pada bait pertama terdapat kutipan:
Ku tak tahu Syariat Islam,
yang kutahu sari konde ibu
Indonesia sangatlah indah,
lebih cantik dari cadar dirimu.
Pada
baris pertama terdapat kata ku
sebagai tokoh dalam teks puisi Ibu
Indonesia. Sebagaimana tokoh dalam karya sastra, tokoh dalam puisi
merupakan pelaku cerita atau pelaku yang dikenai cerita, menjalankan fungsinya
sesuai kodrat yang telah digariskan oleh penulis. Sederhananya aku tidak mengacu kepada pengarang atau
penulis. Tetapi aku mengacu kepada
aku-aku (individu) yang lain di dalam kehidupan nyata (lingkungan masyarakat
Indonesia). Tokoh aku menyatakan
bahwa ia tidak mengetahui tentang persoalan cadar dalam syariat Islam, tetapi
ia hanya mengetahui konde ibu Indonesia.
Pertanyaannya
adalah. Kapankah perilaku bercadar dan berkonde dikenal oleh masyarakat
Indonesia? apakah masyarakat indonesia kesemuanya menggunakan cadar? Apakah masyarakat
Indonesia kesemuanya menggunakan konde?
Untuk menjawab pertanyaan itu tentu sangatlah sulit karena berhubungan dengan
penelitian yang lebih kompleks.
Namun
ada beberapa tulisan yang dinilai berkontribusi untuk menjawab pertanyaan di
atas. Misalnya penelitian Daud (2013) yang berjudul Jilbab, Hijab dan Aurat Perempuan: Antara Tafsir Klasik, Tafsir
Kontemporer dan Pandangan Muslim Feminis, penelitian ini mengungkapkan
bahwa “istilah cadar (termasuk juga jilbab)[3] Seiring
perkembangan budaya dan ghirah
keislaman mulai dikenal di Indonesia. Namun penerimaan jilbab di negeri ini
pada awalnya bukan tanpa masalah. Dalam konteks masyarakat Indonesia istilah
“jilbab” masih berbau asing ... Pada permulaan 1980an, jilbab (baik sebagai fashion atau istilah) mulai dikenal di negeri
ini.”
Tren
jilbab ini salah satunya dipengaruhi oleh pemikiran al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir
dan revolusi Iran serta kebijakan Orde Baru pada tahun 1980an untuk
mengakomodasi kepentingan politik dari masyarakat muslim Indonesia. Setelah
itu, persisnya tahun 1991, pemerintah mengeluarkan peraturan yang membolehkan
para pelajar memakai pakaian seragam Muslimah (jilbab).[4]
Cadar
atau jilbab memiliki fungsi yang bermacam-macam, salah satunya ialah menutup
aurat sebagai bentuk kepatuhan kepada Tuhan. Selain itu juga cadar memiliki
fungsi sosial untuk menjaga keamanan tubuh dari segala macam bentuk ancaman
dari luar, juga di sisi lain cadar maupun hijab memiliki nilai estetis yang
merupakan lambang daripada kecantikan, keindahan dan kehormatan.
Sementara konde (dalam istilah lain disebut
sebagai sanggul) menurut Rostamailis, dkk. dalam bukunya yang berjudul Tata Kecantikan Rambut Jilid 2: Untuk
Sekolah Menengah Kejuruan (2008),
“konde telah dikenal oleh masyarakat
Indonesia sejak zaman Pakubuwono X (1893 – 1939), hampir semua segi kebudayaan mencapai
titik kesempurnaan, termasuk seni tata rias rambut. Oleh karena itu, bentuk
sanggul tradisional ini pun semakin disempurnakan.” (Rostamalis,dkk. 2008:270).
Begitu
juga dalam tulisan Asi Tritanti dan Eni Juniastuti (2011) yang berjudul Keterkaitan Karakter Sanggul Berbagai Daerah
dengan Nilai-Nilai Budaya mengungkapkan bahwa “konde (khsusnya Sanggul Nyimas Gamparan Banten) telah
ditemukan dan disimpan di Gedung Arkeolegi Banten pada abad 17-18 yaitu pada zaman
kecemerlangan Sultan Ageng Tirtayasa.” (dalam Tritanti, A. & Juniastuti, E.
2011).
Menurut
Asi Tritanti dan Eni Juniastuti perilaku bersanggul pada dasarnya telah lama
dikenal oleh masyarakat Indonesia, misalnya masyarakat Lampung mempunya
kebiasaan bersanggul yang dikenal dengan istilah Belattung Gelang, Riau mengenal sanggul dengan istilah Siput Ekor Kre, sementara Banten
mengenal sanggul dengan istilah Sanggul
Nyimas Gamparan. Jawa Barat mengenal sanggul dengan istilah Ciwidey, daerah D.I.Y. Yogyakarta
disebut Ukel Tekuk, sementara sanggul
di daerah Minahasa terdari atas Sanggul
Manado, Sanggul Gorontalo, Sanggul Bolaang Mongondow, Sanggul Sangir Talaud,
dan sanggul daerah Bugis-Sulawesi Selatan disebut Simpolong Tattong, Kalimantan Barat disebut Dendeng, Kalimantan Timur disebut Gelong Tali Kuantan, Kalimantan Selatan disebut Rangkap, Kalimanan Tengah disebut Jambul Lipet, Nusa Tenggara Timur
disebut Lenggeng, Nusa Tenggara Barat
disebut Samu Mbanta, Maluku Utara
disebut sebagai Sanggul Ekor Burung.[5]
Berdasarkan
paparan di atas, kebiasaan bersanggul telah melekat dalam kebudayaan masyarakat
Indonesia, demikian juga perilaku bersanggul ini memiliki nilai-nilai
filosofis-religius seperti halnya Sanggul
Nyimas Gamparan-Banten[6].
Masyarakat
Banten memasang bermacam-macam sanggul lengkap dengan ornamen/perhiasan.
Masing-masing ornamen menurut adat memiliki nilai-nilai budaya, antara lain:
1). Sentog atau rambut panjang
berarti pemakainya terus mengharap rizki dan ridho Allah tanpa putus. 2) Sigang memiliki arti dapat memperindah
bentuk wajah, 3) Sungki berarti
seorang wanita harus bangkit, bahu-membahu dalam bekerja dan harus bisa
mandiri. Bentuk daun pada sungki
berarti lambang kesuburan/pelestarian hutan, 4) Warna Emas pada sungki melambang
kejayaan Banten, yang memang mempunyai tambang emas di Cikotok, sedangkan Rambang memiliki arti menghemat rizki.
Demikian
karenanya, Tokoh aku dalam puisi Ibu Indonesia pada dasarnya tidak
menolak cadar (Syariat Islam), tokoh aku
lebih dahulu mengenal istilah konde sebelum
cadar, pada hakikatnya pun konde
sebagaimana cadar memiliki nilai-nilai kebaikan, nilai religius, dan nilai
sosial untuk mendekatkan diri kepada Tuhan serta bersosial dengan lingkungan
sekitar sebagaimana ditunjukkan dalam kutipan Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah, Rasa ciptanya
sangatlah beraneka, Menyatu dengan kodrat alam sekitar, Jari jemarinya berbau
getah hutan, Peluh tersentuh angin laut. Gemulai gerak tarinya adalah ibadah, Semurni
irama puja kepada Illahi, Nafas doanya berpadu cipta, Helai demi helai benang
tertenun, Lelehan demi lelehan damar mengalun, Canting menggores ayat ayat alam
surgawi
Selain
itu nilai-nilai sosio-religius ini juga diperkuat oleh penyebutan diksi “Kidung” Istilah kidung menurut Ricklefs
(melalui Nurhata, 2017) kebanyakan dipakai untuk menyebut naskah-naskah Jawa
Tengahan, yang pada umumnya mengisahkan legenda-legenda romantis tentang era Majapahit,
seperti Kidung Hariwangsa, Kidung Rangga Lawe, Kidung Sunda, dan Kidung
Sorandaka. Selain itu terdapat juga kidung yang sangat populer di kalangan
masyarakat Jawa, kidung itu adalah Kidung
Nabi. Cara menyanyikannya dengan pupuh (tembang) dandanggula. Kidung Nabi (ini juga termasuk tembang Lir-Ilir, Lamon Sira Menék, dan Cupu Manik Astagina) diyakini sebagai
ciptaan Sunan Kalijaga. Kidung nabi itu
secara umum berisi tetang ketuhanan, kemanusian, dan alam.
Sebab
itu tokoh aku dalam puisi Ibu Indonesia tidak menolak ataupun
melecehkan ajaran cadar maupun pengumandangan adzan. Pada dasarnya cadar, konde, adzan dan kidung sama-sama memiliki nilai yang
luhur, nilai kebaikan tentang ketuhanan, kemanusiaan dan alam. Sementara
pengarang (Sukmawati) mencoba mengangkat persoalan identitas kultural ini
sebagai intropeksi diri agar nilai-nilai kearifan lokal tetap dilestarikan sebagai
wujud kecintaan terhadap bangsa dan negara. Sebagaimana yang terdapat dalam
kutipan,
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari
bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini
cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.
Nilai-nilai
kearifan ini perlu dilestarikan untuk menjaga identitas bangsa, serta memupuk
nilai-nilai kebaikan yang dapat bermanfaat terhadap perbaikan perilaku dan
moral masyarakat Indonesia. Menurut Michael R. Dove (melalui Abdullah, 2014:
51) kebudayaan tradisional sering keliru dipersepsikan oleh sebagian orang
dalam pembangunan, atau modernisasi. Padahal sebenarnya terkait erat dengan
proses sosial, ekonomis dan ekologis masyarakat secara mendasar.
Dalam
hal ini, Pengarang (Sukmawati) telah membangun akan pentingnya kesadaran kearifan lokal dan identitas
kultural dengan cara menentukan posisinya dalam keterhubungan antara, kebudayaan,
keberagaman, sejarah peradaban, ketuhanan, kemanusiaan dan kebijaksanaan,
sederhananya pengarang telah menghidupkan kembali nilai-nilai luhur itu dalam
proses kreatifitas puisi agar orang-orang dapat merenungi dan mengambil
pelajaran daripadanya.
Referensi:
Abdullah, W. (2014) Kearifan Lokal
Petani dan Persepsinya Terhadap Pekerjaan Nonpetani di Kab.Ngawi (Kajian
Etnolinguistik. Dalam Wiyatmi (Eds.), Bahasa
dan Sastra dalam Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme (hlm. 49-61).
Yogyakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta.
Daud, K.F. (2013). Jilbab, Hijab dan
Aurat Perempuan (Antara Tafsir Klasik, Tafsir Kontemporer dan Pandangan Muslim
Feminis). AL HIKMAH Jurnal Studi
Keislaman. 3 (1).
Mayring, P. 2000. Qualitative Content Analysis. (online). (http://www.qualitative-research.net/index.php/fqs/article/viewArticle/1089/2385). 1 (02), diakses 04 April
2018.
Nurhata. (2017). Naskah Kidung Nabi: Analisis Tema dan Fungsi
Sosial. META SASTRA Jurnal Penelitian
Sastra. 10 (1), (online), (DOI 10.26610/metasastra.2017.v10i1.45—56),
diakses 04 April 2018.
Nurgiyantoro, B. (2014). Penggunaan Ungkapan
Jawa dalam Kumpulan Puisi Tirta Kamandanu
Karya Linus Suryadi (Pendekatan Stilistika Kultural). Litera: 13(2). (online), (http://dx.doi.org/10.21831/ltr.v13i2.2575),
diakses 04 April 2018.
Rostamalis, dkk. (2008). Tata Kecantikan Rambut Jilid 2: Untuk
Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan- Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah-Departemen Pendidikan Nasional.
Sayuti, A.S. (2014) Suara Alam dalam
“Puisi Karawitan” Narto Sabdo: Dimanakah Posisi Manusia? dalam Wiyatmi (Eds.), Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ekologi
dan Multikulturalisme (hlm. 21-29). Yogyakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Tritanti, A. & Juniastuti, E.
(2011). Keterkaitan Karakter Sanggul
Berbagai Daerah dengan Nilai-Nilai Budaya. Makalah disajikan dalam Seminar
Nasional studi Tata Rias dan Kecantikan, Yogyakarta 2011. Dalam Staff Site
Universitas Negeri Yogyakarta, (Online), (http://staffnew.uny.ac.id/staff/132310881),
diakses 04 April 2018.
Waluyo, H. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
[1] Lihat Sayuti (2014) Suara Alam dalam Puisi Karawitan Narto Sabdo:
dimankah posisi manusia? hlm. 22. Thn. 2014
[2]Ibid. Sayuti, Thn. 2014
[3] Lihat El-Guindi (Melalui Daud,
2013:2), Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia atau
semakna dengan tudung di Malaysia dan Singapora. Di beberapa negara yang
mayoritas Islam, jilbab merupakan sejenis pakaian panjang (busana muslimah)
yang dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, burnus di
Maghribi, pardeh di India dan
Pakistan, milayat di Libya, abayah di Iraq, charshaf di Turki, Galabeyyah
di Mesir, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan
Yaman dan sebagainya.
[4] Ibid, (2013: 4) Dalam pengertian
ini cadar termasuk di dalamnya. Kata cadar berasal dari bahasa Parsi chador yang berarti ―tenda (tent).
Dalam tradisi Iran chador itu berarti
―sepotong pakaian serba membungkus yang menutupi seorang wanita dari kepala
hingga ujung kaki.
[5] Lihat juga Rostamailis, dkk.
Thn. 2008. Tata Kecantikan Rambut Jilid
2: Untuk Sekolah Menengah Kejuruan
[6] Lihat Asi Tritanti dan Eni
Juniastuti. Thn. 2011. “Keterkaitan
Karakter Sanggul Berbagai Daerah Dengan Nilai-Nilai Budaya”
😷😱
BalasHapus