Kamis, 26 Januari 2017

Perbandingan Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Dengan Novel Max Havelaar Karya Eduard Douwes Dekker Dalam Perspektif Teori Postkolonialisme


Oleh
Muhammad Rifa’ie

Pengalaman masa kolonial tertuang dalam karya sastra Hindia Belanda maupun Indonesia, salah satunya dalam karya sastra Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (Max Havelaar) dan Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia). Karenanya, berhubungan dengan sejarah  kolonial Indonesia, karya sastra zaman Hindia Belanda bisa dibicarakan dalam satu koridor dengan karya sastra Indonesia. Karya-karya tersebut dengan bahasa yang berbeda merepresentasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai kemasyarakatan pada zaman itu.
Orang Belanda dan Indonesia pada zaman kolonial bersama-sama menjadi bagian dari satu masyarakat  yang  digerakkan  oleh  sistem  kekuasaan,  sosial,  dan ekonomi  yang  sama.
Karya seni bukanlah produksi yang terisolasi, tetapi sebuah produk kesadaran kolektif, seorang  seniman  dimediasi  oleh  institusi  sosial  dan  ekonomis  yang memengaruhi  mode  produksi.  Filosofi  dan  religi menformulasikan kebenaran, sejarah menentukan fakta, tetapi sastra seni pada umumnya bercerita kepada manusia saat ini bagaimana dan mengapa manusia mengalami kebenaran dan fakta tersebut.
            Ketertarikan saya memilih novel Bumi Manusia bukan karena kisah penceriteraan yang indah nan mengagumkan dari kisah percintaan tokoh Minke dengan tokoh Annelies. Namun, lebih dari sekedar itu, Bumi Manusia menghadirkan cerita yang mengungkap realitas kehidupan pada zaman kolonial pada masa itu, tentang kehidupan penjajah dengan yang dijajah, tentang perlawanan, tentang penindasan dan penguasaan kesewenang-wenangan penjajah terhadap Pribumi.
            Sedangkan, dalam novel Max Havelaar, novel itu mengisahkan keadaan pribumi dengan pejabat Belanda secara objektif, seolah penulis berada di tengah-tengah antara penjajah dengan yang dijajah. Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwasanya Novel Max Havelaar ialah Novel yang memiliki “kisah yang ‘membunuh’ kolonialisme” (New York Times, 1999).
Kedua novel di atas sangat menarik untuk dibandingkan, dicari keterkaitan sekaligus ambivalen dalam kedua novel tersebut. Untuk menganalisis sekaligus membandingkan kedua novel itu, saya menggunakan teori Postkolonialisme.
A.  Teori Postkolonialisme
Nurhadi (2007:2) mengatakan sebagai berikut.
“Kata “post” yang  dilekatkan  dengan kata “colonial” sebetulnya  kurang tepat kalau diindonesiakan menjadi “pasca”. Kata pascakolonial yang sering kali dijadikanterjemahan dari postcolonial merupakan istilah yang mengacu pada permasalah “waktu setelah” kolonial. Padahal poskolonial tidak hanya mengacu pada  kajian  sastra  sesudah  masa  era  penjajahan, atau era kemerdekaan tetapi lebih luas mengacu pada segala yang terkait dengan kolonialisme”

Wacana kolonial merupakan hasil dari proses hibridisasi/asimilasi yang dipicu  oleh  benturan-benturan antara tradisi kolonialis dan  pribumi.  Wacana  kolonial karenanya memiliki  ketegangan mendalam yang mengakibatkan  hubungan antara kolonisator dan yang terkoloni senantiasa ambivalen. Artinya, Wacana kolonial bergerak dinamis. Di sana ada hal-hal yang tidak stabil, kontradiktif, dan tidak identik. Timur dilihat sebagai yang indah sekaligus  menakutkan, sebagai yang  akra  tetapi  asing, dicinta tetapi dibenci, atau dalam misi peradaban terkandung kesiapan berperang dan membunuh. Sifat ambivalensi yang melekat pada wacana kolonial itu membuka pintu interupsi bagi subjek terkoloni/terjajah. Sebagaimana wacana  kolonial, wacana tandingan  ini  pun  bersifat ambivalen.  Muncul  konsep  memuja  keunggulan  budaya Barat, tetapi sekaligus membencinya.
Belanda yang memegang kekuasaan berusaha agar wacana kolonial menguntungkan kedudukan mereka. Oleh karenanya, mereka melakukan seruan-seruan tentang keunggulan jatidiri dan budaya mereka sekaligus menyusun seruan berkebalikan untuk pribumi.
Keengganan Pribumi bekerja di ladang/bidang pendukung kapitalisme menghasilkan  mitos pribumi malas, tukang kredit, peminum, pemadat, pencuri. Mitos tersebut ikut melegalkan dan melanggengkan kolonisasi dan kapitalisme. Dengan mitos dan stereotip, kolonisator merasa berhak mengatur, mengontrol, dan memberadabkan mereka.
“Citra Superioritas” sebagaimana “citra  inferioritas” menjadi bagian dari konsep wacana kolonial. diperlukan sebagai tanda perbedaan rasial, historis dan kultural dalam wacana kolonial. Hal itu menyebabkan terjajah memasuki situasi yang tidak menentu dan mempertanyakan identitas mereka. Mereka berusaha membentuk identitas mereka mengikuti “citra superioritas”. Hal tersebut kemudian disebut dengan tindakan mimikri.
Tindak mimikri (peniruan identitas) oleh terjajah melahirkan hibridaisasi yang berada dalam ruang ketiga, ruang pertemuan “Barat” dan “Timur” disebutsebagai liminal space, sebuah ruang yang dilukiskan remang-remang. Area remang-remang  ini menjadi jalan setapak yang menghubungkan terjajah  dan penjajah  atau jaringan ikat yang membangun  perbedaan  antara mereka, si Hitam dan si Putih. Di tempat ini semua perbedaan antara mereka  dipamerkan, diperlihatkan. Tempat itu akhirnya menandai perbedaan identitas mereka.
Dikutip dari situs Bimbie.com bahwasanya teori Postkolonialisme memiliki tiga pendekatan yang digunakan untuk menganalisis satu karya sastra diantaranya ialah:
a.    Hegemoni
Dalam teori yang dikemukakan oleh Gramsci mengenai teori hegemoni, bahwa seni (dan sastra) digunakan sebagai alat untuk melakukan hegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Hal ini bertujuan untuk melakukan gerakan kontrol sosial.
Hegemoni dimaksudkan untuk mempropaganda suatu hal atau kepentingan terhadap kaum lemah atau kaum terjajah, baik dari segi ekonomi, budaya, ideologi, politik dan lain semacamnya dengan tujuan untuk membenarkan kepentingan tersebut. Dalam karya sastra akan diungkap praktik-praktik dominasi kaum penjajah terhadap terjajah yaitu melalui penelitian dengan pendekatan hegemoni.
b.    Mimikri
Mimikri adalah perilaku yang dilakukan karena rasa minder. Rasa minder ini ditutupi  dengan meniru perilaku mereka yang meer (lebih). Mereka menyangkal dan melawan kekurangan yang ditunjukkan pihak meer dengan menunjukan kemampuan yang sama,  hubungan  terjajah  dan  penjajah  bersifat kompetitif, “mimic man”  meniru sekaligus ingin menunjukkan daya kompetisinya; dengan meniru sekaligus dia menyatakan bahwa kemampuannya tidak kalah dengan kemampuan yang ditiru. Daya kompetisinya  menjadi senjata untuk bertahan bahkan untuk menyerang.
B.  Hegemoni dalam kedua Novel
a.      Hegemoni dalam novel Max Havelaar
Dalam novel MH (Max Havelaar) digunakan metode telling. “Metode telling ialah pemaparan tokoh langsung dari pengarang, biasanya melalui penggunaan nama Tokoh, penampilan tokoh dan melalui tuturan pengarang” (Minderop, 2013:79).
Pengarang yang direpresentasikan dalam tokoh Droogstoppel hakikatnya merupakan bukan tokoh yang mengalami banyak kejadian dalam novel MH, namun Droogstoppel tak lain adalah seorang makelar kopi yang menemukan catatan Stern, dan dalam catatan-catatan Stern itulah bermula didapatkan cerita-cerita yang terjadi di Hindia Belanda, mengisahkan kehidupan Tokoh Max Havelaar ketika bertugas di Hindia Belanda, khususnya di distrik Lebak Banten sebagai Asisten Residen.
Max Havelaar adalah salah satu manusia yang bijaksana dan mencintai kebenaran serta menjunjung tinggi keadilan untuk segenap lapisan masyarakat, karena keadilan tidak memandang bulu, maka ia pun mencintai keadilan itu beserta manusianya tanpa memandang bulu, warna kulit dan semacamnya.
Max Havelaar menceritakan bahwasanya di Hindia Belanda terjadi pertentangan kelas antara kulit putih dengan kulit berwarna, yang kuat dengan yang lemah dan orang Eropa dengan Eropa blasteran serta Eropa dengan pribumi. Yang disebut belakangan itu merupakan kelas sosial yang selalu tidak diperhatikan, dianiaya dan dimarjinalkan oleh dominasi orang Eropa. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut.
“Aku tidak mengingkari masih banyaknya ketidak adilan dan keeksklusifan dalam hubungan kedua belah pihak, dan kata liplap sering terdengar di telingaku sebagai bukti betapa orang kulit putih yang bukan liplap sering kali berada sangat jauh dari perdaban yang sesungguhnya. Memang benar bahwa liplap hanya dimasukkan dalam pergaulan melalui perkecualian” (Multatuli, 2014:131).

Kaum liplap dianggap kaum perkecualian, memiliki kelas rendah di antara kelas orang Eropa. Liplap ialah julukan di Hindia bagi anak dari seorang Eropa dan seorang Pribumi, biasanya sebutan liplap merupakan sindiran terhadap keturunan yang memiliki bibir menonjol (bibir dower).
Fenomena sebutan liplap merupakan bukti bahwa bangsa Eropa ingin mendominasi bangsa-bangsa selain Eropa khususnya bangsa Pribumi, bahkan dalam novel MH, pengarang pun mengakui hal itu.
“Dalam hal semacam ini muncullah a apriori, batasan yang hanya bisa disingkirkan melalui rancangan liberal filosofis dari pihak pemerintah. Dengan sendirinya orang Eropa yang menjadi bangsa dominan bisa sangat mudah menyesuaikan diri dengan keunggulan palsu ini” (Multatuli, 2014: 133).
Di ranah berbeda. Hegomoni terjadi dalam hal agama, yaitu bagaimana kepercayaan-kepercayaan masyarakat Jawa, bahkan dalam ruang lingkup besar yaitu kepercayaan masyarakat Asia Tenggara dianggap sesat dan kafir, karena dianggap tidak mengenal Allah dan Kristus, dan agama terakhir itulah dianggap agama yang mutlak benar oleh penulis. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan ini.

“Wawelaar telah membuktikan cinta Allah, dan segera melanjutkan ke pokok permasalahannya, yaitu pengubahan  keyakinan orang Jawa, Malaysia, dan bangsa kafir lainnya, apa pun sebutan mereka.

Demikianlah, saudara-saudaraku terkasih, tugas Israel”-[maksudnya pembinasaan penduduk kanan]-“dan demikianlah tugas Belanda! Tidak, tidak akan dikatakan bahwa cayaha yang menerangi kita telah disembunyikan di bawah lumbung bahwa kita bersikap pelit dalam membagikan  roti kehidupan. Tengoklah kepulauan di Samudra Hindia, yang dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-dan memang patut dikutuk...di sana, mereka merayap memasuki lubang-lubang ular menjijikkan berupa kebodohan orang kafir, di sana mereka merundukkan kepala berambut keriting hitam mereka di bawah gandar para pendeta yang mementingkan diri sendiri. Di sana mereka menyembah Tuhan, memanggil Nabi palsu, di antara mereka bahkan ada yang memuja tuhan lain, atau tepatnya dewa-dewa lain. Ya, dewa-dewa kayu dan batu, yang mereka buat sendiri-hitam. Menjijikkan, dengan hidung pesek, dan seperti setan.” (Multatuli,2014:190-191).

Propaganda melalui misioner agama kristen merupakan ciri-ciri hegemoni, menganggap agama kristen paling benar kemudian menjadikan agama tersebut sebagai agama nomor satu di Samudra Hindia khususnya di Hindia Belanda, mereka menyerang bangsa terjajah bukan hanya menggunakan senjata dan kekuasaan, namun mereka pun menyerang bangsa terjajah dengan Agama. Internalisasi nilai-nilai Ke-Kristen-an terhadap pribumi, sehingga ingin “menjadikan” bangsa pribumi sebagaimana bangsa Belanda, baik dari segi keyakinan dan politik. Lebih jauh dari itu bahkan agama dijadikan alasan untuk membenarkan penjajahan terhadap pribumi. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan novel MH ini.

“Oleh karena itu, Belanda telah dipilih untuk menyelamatkan sebanyak mungkin makhluk-mahluk menyedihkan ini. Oleh karena itu, dia memberi kekuatan pada sebuah negara yang berukuran kecil, tetapi besar dan kuat karena pengetahuan mengenai Tuhan, dan menguasai penduduk di wilayah itu, agar mereka bisa diselamatkan dari siksaan neraka oleh Injil yang suci dan selamanya terpuji . kapal-kapal Belanda melayari lautan luas dan membawa peradaban, agama, dan Kristenitas kepada orang-orang Jawa yang tersesat.” (Multatuli,2014:193)
                                                                                                    
Jika misioner sukses dilakukan oleh misionaris bukan tidak mungkin bangsa pribumi akan semakin “tertidur” oleh khutbah-khutbah agama yang dilakukan oleh misionaris, dan tentu hal itu akan mempersulit kebangkitan dan kemerdekaan, karena materi khutbah yang disampaikan tidak akan lepas dari masalah yang berkenaan dengan kekuatan Belanda dan kelemahan Hindia Belanda, seperti isi khutbah tuan Wawelaar pada novel MH, halaman 190-197.
Namun novel MH bagaimana pun juga adalah novel “pembunuh” kolonialisme, hal itu terlihat dalam kisah kehidupan Saidjah dan Adinda yang dikisahkan oleh pengarang dalam bab 17.
Pada mulanya Saidjah muda adalah anak pria yang tangkas bekerja, khususnya tangkas dalam mengelola sawah menggunakan kerbaunya, ia sangat ahli dalam mengendalikan kerbau, bahkan kerbau pun ibarat satu jiwa dengannya, kerbau itu selalu menurut kepada Saidjah. Bahkan suatu ketika saidjah dalam keadaan diintai Harimau dan dengan kecepatan pemangsa harimau itu siap melompat ke arah tubuh saidah yang masih kecil. Namun dengan tanpa diduga kerbau milik saidjah melindungi tubuh saidjah, harimau itu mati di ujung tanduk kerbau dan saidah selamat.
Tapi sayang harimau itu harus disembelih dari pada menjadi bangkai karena cakaran harimau yang mencekam lehernya. Sebenarnya kerbau yang setia itu adalah kerbau kedua milik Saidjah, sedangkan kerbau pertamanya dirampas oleh utusan bupati untuk memenuhi hasrat bupati Lebak dengan jajarannya. Kala itu kerbau adalah kebutuhan dasar petani, tanpa kerbau maka petani tidak akan bisa makan, dan kerbau keduanya itu ia peroleh dari penjualan keris sang ayah.
Ketika sudah dewasa Saidjah memimpikan mempunyai kerbau lebih dari satu, oleh karenanya ia berangkat ke Batavia untuk mencari pekerjaan dan upah atas pekerjaan itu, sebelum berangkat ke Batavia ia berpamitan dengan Adinda. Adinda adalah pasangan Saidjah semenjak kecil bahkan mereka sudah dijodohkan semenjak dalam kandungan. Adinda berjanji akan menunggu Saidjah sampai pulang dan akan menikah dengannya ketika saidah pulang. Tapi ketika saidjah pulang beserta mimpi-mimpi dan keinginannya ternyata Adinda tidak ada di desanya. Keluarga adinda mengalami nasib seperti keluarga Saidjah. Kerbau mereka dirampas dan mereka melarikan diri ke Lampung untuk menjadi relawan pemberontak. Sampai di tempat pemberontakan, Saidjah menemukan Ayah Adinda di reruntuhan rumah terbakar dengan luka Bayonet yang mengaga di dadanya. Di dekatnya, saidjah melihat tiga adik laki-laki adinda yang terbunuh. Sedikit lebih jauh lagi tergeletak mayat adinda, teraniaya secara mengerikan.
Akhirnya Saidjah menyerahkan nyawanya ke tentara Belanda dan menembuskan bayonet-bayonet sampai senjata mereka terbenam ke dalam dadanya.
Cerita singkat Saidjah itu merupakan kisah ketidak adilan yang selalu menimpa kaum bawah akibat dari kesemena-menaan para pejabat Belanda. Belanda selalu mendominasi berbagai hal, salah satunya adalah dominasi kekuasaan, politik dan kekuatan. Bagaimana pemberontakan dituntaskan dengan serangan mematikan yang tak mempedulikan perikemanusiaan. Bahkan pengarang pun melukisakan hal semacam itu dalam novel MH.
“Aku tidak peduli apakah aku dianggap sebagai pelukis yang tidak becus, asalkan diakui bahwa perlakuan buruk terhadap orang pribumi memang KETERLALUAN”. (Multatuli, 2014:402)
b.      Hegemoni Dalam Novel Bumi Manusia
Bumi Manusia menjadi semacam memoar tokoh Minke. Minke, sebagai  tokoh sekaligus menjadi narator utama. Dia membuka peristiwa dengan memperkenalkan dirinya  yang  menuliskan kisah yang dialaminya belasan tahun yang lalu:
“Tigabelas tahun kemudian catatan pendek ini kubacai dan  kupelajari  kembali,  kupadu dengan impian, khyal. Memang menjadi lain dari aslinya. Tak kepalang tanggung. Dan begini kemudian jadinya” (Toer,  2011: 10).
Cerita berlanjut dengan perkenalan  diri  Minke saat berada di bangku sekolah dan mengemukakan pandangannya tentang perkembangan dunia. Perkenalan diri diputus oleh kedatangan Robert Suurhof yang mengajaknya mengunjungi keluarga Mellema: Tuan dan Robert  Mellema  yang  tak  menyenanginya,  Nyai  Ontosoroh  dan  putrinya  yang menyukainya. Jatuh cinta pada pandang pertama menyatukan Minke dan Annelies dalam satu rumah.
Suatu hari keluarga tersebut menemukan mayat Tuan Mellema di rumah plesiran Babah AH Tjong yang tak jauh dari rumah mereka. Pengadilan pun digelar. Babah Ah Tjong dinyatakan bersalah telah sengaja memberikan ramuan yang membahayakan jiwa Mellema secara perlahan-lahan; Minke dan Annelies diusik kebersamaan mereka dalam satu rumah. Peristiwa ini berakibat pada dikeluarkannya Minke karena dianggap sudah lebih dewasa daripada teman sebayanya.
Dengan pertolongan Tuan Asisten Residen kota B. Minke kembali ke sekolah dan lulus dengan nilai terbagus seluruh Surabaya. Akhirnya dia menikahi Annelies  secara Islam.Sayang, kebahagiaan tak berlangsung lama. Ir. Maurits Mellema menuntut haknya atas harta warisan ayah kandungnya, dan juga hak perwalian atas Annelies yang belum dewasa menurut hukum Eropa. Perkawinan Minke dan Annelies dibatalkan oleh pengadilan Eropa, dan Annelies harus berangkat ke Belanda danhidup di bawah pengawasan keluarga Mellema. Perbedaan perlakuan hukum telah diterapkan.
Berbeda dengan novel MH, novel Bumi Manusia lebih cenderung melawan hegemoni barat yang sangat mendominasi Pribumi, tokoh-tokoh dalam novel BM (Bumi Manusia) keluar dari identitas dirinya sebagai Pribumi, kemudian mencoba meniru (Mimikri) identitas orang kebanyakan Eropa yang berwawasan luas, yang berpakaian rapi dan mencintai persamaan seperti halnya yang terjadi pada fenomena revolusi Prancis (persamaan, persaudaraa dan kebebasan), peniruan itu selanjutnya dijadikan senjata untuk melawan hegemoni yang selama ini mendominasi dan mengenadalikan kehidupan.
Nyai  Ontosoroh  yang  ditukar  ayahnya  dengan  jabatan  kasir  menolak identitasnya  yang  lama.  Dia  selalu  menanyakan  pada  “suaminya”  kemajuan yang telah dicapainya.  Sudahkan  dia  seperti  wanita  Eropa:  bahasa  Belanda  dan  cara  bersikapnya?Bacaan yang dibacanya bahkan jauh melebihi bacaan kebanyakan wanita Eropa di Hindia Belanda.
Namun, prestasi yang dicapainya tidaklah menentukan bahwa identitasnya berubah menjadi sama dengan identitas wanita Belanda. Dia adalah pribadi yang berbeda dengan asalnya, dia menjadi mirip dengan yang ditirunya, tetapi tidaklah sama persis. Ketika  berlangsung  sidang  melawan  Ir.  Maurits  Mellema,  oleh hukum  Nyai  Ontosoroh  dilarang  berbicara  dalam  bahasa  Belanda. Meskipun bahasa Belandanya sangat bagus, dia tidak diperbolehkan menjawab langsung pertanyaan hakim; seorang  pribumi  harus  berbicara  Melayu  dan  dibantu oleh seorang penerjemah MelayuBelanda. Nyai Ontosoroh merasa  dilemparkan  ke  hunian  aslinya;  dia  disadarkan  pada posisinya yang tidak sama dengan orang Belanda. Berikut kutipan dari novel BM.

“Dengan suara lantang dalam Belanda tiada cela-di bawah larangan hakim yang memaksanya menggunakan Jawa, serta ketukan palu-laksana air bah lepas dari cengkraman taufan ia bicara:
Tuan Hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, karena toh telah dimulai membongkar keadaan rumah tanggaku .... (ketokan palu; diperingatkan agar menjawab langsung). Aku, Nyai Ontosoroh alias Sanikem, gundik mendiang Tuan Mallema, mempunyai pertimbangan lain dalam hubungan antara anakku dengan tamuku. Sanikem hanya seorang gundik. Dari kegundikanku lahir Annelies. Tak ada yang menggugat hubunganku dengan Tuan Mellema, hanya karena dia Eropa Totok. Mengapa hubungan antara anakku dengan Tuan Minke dipersoalkan? Hanya karena Tuan Minke Pribumi? Mengapa tidak disinggung hampir semua orang tua golongan Indo? Antara aku dengan Tuan Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum. ... orang Eropa dapat membeli perempuan Pribumi seperti diriku ini. Apa pembelian ini lebih benar dari pada percintaan tulus? Kalau orang Eropa boleh berbuat karena keunggulan uang dan kekuasaannya, mengapa kalau Pribumi jadi ejekan, justru karena cinta tulus?
Sidang memang menjadi kacau. Nyai terus juga bicara tanpa mengindahkan paluan hakim. Nyai dipaksa mengakui bahwa Annelies bukan Pribumi, tapi Indo” (Toer, 2011: 426).

Tokoh Nyai dalam novel BM merupakan tokoh yang tidak hanya menerima dengan aturan-aturan Belanda, namun ia melawan dengan kemampuan retorikanya yang bagus, serta intelektualnnya yang menyamai orang Eropa kebanyakan, tentu hal itu sangat berbeda dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel MH,yang lebih cenderung pasrah, dengan dominasi orang Eropa khususnya pemerintahan Belanda. Bukan hanya tokoh Nyai Ontosoroh yang ditampilkan dengan karakter melebihi identitas orang Eropa, namun hal itu pun terjadi dengan tokoh Minke.
Minke sebagai  lulusan  terbaik  HBS Surabaya, mengalahkan pelajar-pelajar lain, bahkan yang totok Belanda. Namun, dalam hukum dia harus  mengakui kedudukannya  yang  rendah. Pernikahannya  dengan  Annelies  yang  sah secara hukum Islam dan pribumi dapat dibatalkan oleh hukum kolonial Belanda. Meskipun Annelies Mellema menolak, sebagai gadis di bawah 17 tahun hukum tetap menempatkan dia di bawah pengasuhan mantan istri Tuan Mellema. Dia diperintahkan untuk bertolak ke Belanda meninggalkan suami dan ibu kandungnya. Annelies yang selalu menyebut dirinya pribumi,  kini  harus  mengakui  kenyataan  bahwa  dia  warga  Belanda.
Dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda ada sementara kelompok Indo yang mengingkari  darah  pribuminya,  misal tokoh Robert  Mellema,  Robert  Suurhof,  Mereka lebih suka disebut sebagai orang Belanda sebagai tipe kulit putih dan berpura-pura bahasa Melayunya jelek. Mereka lebih memilih identitas putih yang dipandang lebih bagus, murni dan berbudaya.
C.    Daftar Pustaka
Bimbie. 2013. Teori Postcolonial dalam Penelitian Kesusastraan, (Online), (Bimbie.com), diakses 15 Oktober 2014.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi. Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS
Multatuli. 2014. Max Havelaar. Bandung: Qanita
Minderop, Albertine. 2013. Psikologi Sastra: Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Nurhadi. 2007. Poskolonial: Sebuah Pembahasan. Artikel disajikan pada seminar sastra di FBS UNY, Yogyakarta, 7 Desember 2007. (Online), diakses 15 Oktober 2014.
Toer,  Pramoedya  Ananta. 2011 .Bumi  Manusia.Jakarta: Lentera Dipantara.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anwar photo 1_zpsluuuzr7y.png  photo 4_zpslz4lcvhl.png  photo 5_zpsdg2pys8h.png  photo 10_zpsypsudbcm.png  photo 6_zpsewjebclw.png  photo 11_zpswfyhpyxi.png  photo 3_zpskjh4vsz8.png

recent posts

Flickr