Oleh
Muhammad Rifa’ie
Pengalaman
masa kolonial tertuang dalam karya sastra Hindia Belanda maupun Indonesia, salah satunya dalam karya sastra Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (Max Havelaar) dan Pramoedya Ananta Toer
(Bumi Manusia). Karenanya, berhubungan dengan sejarah kolonial Indonesia, karya sastra zaman Hindia
Belanda bisa dibicarakan dalam satu koridor dengan karya sastra Indonesia.
Karya-karya tersebut dengan bahasa yang berbeda merepresentasikan
pandangan-pandangan dan nilai-nilai kemasyarakatan pada zaman itu.
Orang
Belanda dan Indonesia pada zaman kolonial bersama-sama menjadi bagian dari satu
masyarakat yang digerakkan
oleh sistem kekuasaan,
sosial, dan ekonomi yang
sama.
Karya seni
bukanlah produksi yang terisolasi, tetapi sebuah produk kesadaran kolektif, seorang seniman
dimediasi oleh institusi
sosial dan ekonomis
yang memengaruhi mode produksi.
Filosofi dan religi menformulasikan kebenaran, sejarah
menentukan fakta, tetapi sastra seni pada umumnya bercerita kepada manusia saat
ini bagaimana dan mengapa manusia mengalami kebenaran dan fakta tersebut.
Ketertarikan saya memilih novel Bumi
Manusia bukan karena kisah penceriteraan yang indah nan mengagumkan dari kisah
percintaan tokoh Minke dengan tokoh Annelies. Namun, lebih dari sekedar itu,
Bumi Manusia menghadirkan cerita yang mengungkap realitas kehidupan pada zaman
kolonial pada masa itu, tentang kehidupan penjajah dengan yang dijajah, tentang
perlawanan, tentang penindasan dan penguasaan kesewenang-wenangan penjajah
terhadap Pribumi.
Sedangkan, dalam novel Max Havelaar,
novel itu mengisahkan keadaan pribumi dengan pejabat Belanda secara objektif,
seolah penulis berada di tengah-tengah antara penjajah dengan yang dijajah.
Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwasanya Novel Max Havelaar ialah Novel yang
memiliki “kisah yang ‘membunuh’ kolonialisme” (New York Times, 1999).
Kedua
novel di atas sangat menarik untuk dibandingkan, dicari keterkaitan sekaligus
ambivalen dalam kedua novel tersebut. Untuk menganalisis sekaligus
membandingkan kedua novel itu, saya menggunakan teori Postkolonialisme.
A.
Teori Postkolonialisme
Nurhadi (2007:2)
mengatakan sebagai berikut.
“Kata “post” yang
dilekatkan dengan kata “colonial”
sebetulnya kurang tepat kalau diindonesiakan
menjadi “pasca”. Kata pascakolonial yang sering kali dijadikanterjemahan dari
postcolonial merupakan istilah yang mengacu pada permasalah “waktu setelah”
kolonial. Padahal poskolonial tidak hanya mengacu pada kajian
sastra sesudah masa
era penjajahan, atau era
kemerdekaan tetapi lebih luas mengacu pada segala yang terkait dengan kolonialisme”
Wacana
kolonial merupakan hasil dari proses hibridisasi/asimilasi yang dipicu oleh
benturan-benturan antara tradisi kolonialis dan pribumi.
Wacana kolonial karenanya
memiliki ketegangan mendalam yang mengakibatkan hubungan antara kolonisator dan yang
terkoloni senantiasa ambivalen. Artinya, Wacana kolonial bergerak dinamis. Di
sana ada hal-hal yang tidak stabil, kontradiktif, dan tidak identik. Timur
dilihat sebagai yang indah sekaligus
menakutkan, sebagai yang
akra tetapi asing, dicinta tetapi dibenci, atau dalam misi peradaban terkandung
kesiapan berperang dan membunuh. Sifat ambivalensi yang melekat pada wacana
kolonial itu membuka pintu interupsi bagi subjek terkoloni/terjajah.
Sebagaimana wacana kolonial, wacana tandingan
ini
pun bersifat ambivalen. Muncul
konsep memuja keunggulan
budaya Barat, tetapi sekaligus membencinya.
Belanda
yang memegang kekuasaan berusaha agar wacana kolonial menguntungkan kedudukan
mereka. Oleh karenanya, mereka melakukan seruan-seruan tentang keunggulan jatidiri
dan budaya mereka sekaligus menyusun seruan berkebalikan untuk pribumi.
Keengganan
Pribumi bekerja di ladang/bidang pendukung kapitalisme menghasilkan mitos pribumi malas, tukang kredit, peminum,
pemadat, pencuri. Mitos tersebut ikut melegalkan dan melanggengkan kolonisasi
dan kapitalisme. Dengan mitos dan stereotip, kolonisator merasa berhak
mengatur, mengontrol, dan memberadabkan mereka.
“Citra
Superioritas” sebagaimana “citra
inferioritas” menjadi bagian dari konsep wacana kolonial. diperlukan
sebagai tanda perbedaan rasial, historis dan kultural dalam wacana kolonial. Hal
itu menyebabkan terjajah memasuki situasi yang tidak menentu dan mempertanyakan
identitas mereka. Mereka berusaha membentuk identitas mereka mengikuti “citra
superioritas”. Hal tersebut kemudian disebut dengan tindakan mimikri.
Tindak
mimikri (peniruan identitas) oleh terjajah melahirkan hibridaisasi yang berada dalam
ruang ketiga, ruang pertemuan “Barat” dan “Timur” disebutsebagai liminal space, sebuah ruang yang dilukiskan remang-remang. Area
remang-remang ini menjadi jalan setapak
yang menghubungkan terjajah dan penjajah atau jaringan ikat yang membangun perbedaan
antara mereka, si Hitam dan si Putih. Di tempat ini semua perbedaan
antara mereka dipamerkan, diperlihatkan.
Tempat itu akhirnya menandai perbedaan identitas mereka.
Dikutip
dari situs Bimbie.com bahwasanya teori Postkolonialisme memiliki tiga
pendekatan yang digunakan untuk menganalisis satu karya sastra diantaranya
ialah:
a.
Hegemoni
Dalam
teori yang dikemukakan oleh Gramsci mengenai teori hegemoni, bahwa seni (dan
sastra) digunakan sebagai alat untuk melakukan hegemoni dengan cara melakukan
dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Hal ini bertujuan untuk
melakukan gerakan kontrol sosial.
Hegemoni
dimaksudkan untuk mempropaganda suatu hal atau kepentingan terhadap kaum lemah
atau kaum terjajah, baik dari segi ekonomi, budaya, ideologi, politik dan lain
semacamnya dengan tujuan untuk membenarkan kepentingan tersebut. Dalam karya
sastra akan diungkap praktik-praktik dominasi kaum penjajah terhadap terjajah
yaitu melalui penelitian dengan pendekatan hegemoni.
b.
Mimikri
Mimikri
adalah perilaku yang dilakukan karena rasa minder. Rasa minder ini ditutupi dengan meniru perilaku mereka yang meer (lebih). Mereka menyangkal dan
melawan kekurangan yang ditunjukkan pihak meer
dengan menunjukan kemampuan yang sama,
hubungan terjajah dan
penjajah bersifat kompetitif, “mimic man” meniru sekaligus ingin menunjukkan daya
kompetisinya; dengan meniru sekaligus dia menyatakan bahwa kemampuannya tidak
kalah dengan kemampuan yang ditiru. Daya kompetisinya menjadi senjata untuk bertahan bahkan untuk
menyerang.
B.
Hegemoni dalam kedua Novel
a.
Hegemoni dalam novel Max Havelaar
Dalam novel MH (Max Havelaar) digunakan
metode telling. “Metode telling ialah pemaparan tokoh langsung
dari pengarang, biasanya melalui penggunaan nama Tokoh, penampilan tokoh dan
melalui tuturan pengarang” (Minderop, 2013:79).
Pengarang yang direpresentasikan dalam
tokoh Droogstoppel hakikatnya merupakan bukan tokoh yang mengalami banyak
kejadian dalam novel MH, namun Droogstoppel tak lain adalah seorang makelar
kopi yang menemukan catatan Stern, dan dalam catatan-catatan Stern itulah
bermula didapatkan cerita-cerita yang terjadi di Hindia Belanda, mengisahkan
kehidupan Tokoh Max Havelaar ketika bertugas di Hindia Belanda, khususnya di
distrik Lebak Banten sebagai Asisten Residen.
Max Havelaar adalah salah satu manusia
yang bijaksana dan mencintai kebenaran serta menjunjung tinggi keadilan untuk
segenap lapisan masyarakat, karena keadilan tidak memandang bulu, maka ia pun
mencintai keadilan itu beserta manusianya tanpa memandang bulu, warna kulit dan
semacamnya.
Max
Havelaar menceritakan bahwasanya di Hindia Belanda terjadi pertentangan kelas
antara kulit putih dengan kulit berwarna, yang kuat dengan yang lemah dan orang
Eropa dengan Eropa blasteran serta Eropa dengan pribumi. Yang disebut
belakangan itu merupakan kelas sosial yang selalu tidak diperhatikan, dianiaya
dan dimarjinalkan oleh dominasi orang Eropa. Sebagaimana yang terdapat dalam
kutipan berikut.
“Aku tidak mengingkari masih banyaknya
ketidak adilan dan keeksklusifan dalam hubungan kedua belah pihak, dan kata liplap sering terdengar di telingaku
sebagai bukti betapa orang kulit putih yang bukan liplap sering kali berada sangat jauh dari perdaban yang
sesungguhnya. Memang benar bahwa liplap hanya dimasukkan dalam pergaulan
melalui perkecualian” (Multatuli, 2014:131).
Kaum liplap
dianggap kaum perkecualian, memiliki kelas rendah di antara kelas orang Eropa. Liplap ialah julukan di Hindia bagi anak
dari seorang Eropa dan seorang Pribumi, biasanya sebutan liplap merupakan sindiran terhadap keturunan yang memiliki bibir menonjol
(bibir dower).
Fenomena sebutan liplap merupakan bukti bahwa bangsa Eropa ingin mendominasi
bangsa-bangsa selain Eropa khususnya bangsa Pribumi, bahkan dalam novel MH,
pengarang pun mengakui hal itu.
“Dalam hal semacam ini muncullah a apriori, batasan yang hanya bisa
disingkirkan melalui rancangan liberal filosofis dari pihak pemerintah. Dengan
sendirinya orang Eropa yang menjadi bangsa dominan bisa sangat mudah
menyesuaikan diri dengan keunggulan palsu ini” (Multatuli, 2014: 133).
Di ranah berbeda. Hegomoni terjadi dalam
hal agama, yaitu bagaimana kepercayaan-kepercayaan masyarakat Jawa, bahkan
dalam ruang lingkup besar yaitu kepercayaan masyarakat Asia Tenggara dianggap
sesat dan kafir, karena dianggap tidak mengenal Allah dan Kristus, dan agama
terakhir itulah dianggap agama yang mutlak benar oleh penulis. Sebagaimana yang
terdapat dalam kutipan ini.
“Wawelaar
telah membuktikan cinta Allah, dan segera melanjutkan ke pokok permasalahannya,
yaitu pengubahan keyakinan orang Jawa,
Malaysia, dan bangsa kafir lainnya, apa pun sebutan mereka.
Demikianlah,
saudara-saudaraku terkasih, tugas Israel”-[maksudnya pembinasaan penduduk
kanan]-“dan demikianlah tugas Belanda! Tidak, tidak akan dikatakan bahwa cayaha
yang menerangi kita telah disembunyikan di bawah lumbung bahwa kita bersikap
pelit dalam membagikan roti kehidupan. Tengoklah
kepulauan di Samudra Hindia, yang dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra
terkutuk-dan memang patut dikutuk...di sana, mereka merayap memasuki
lubang-lubang ular menjijikkan berupa kebodohan orang kafir, di sana mereka
merundukkan kepala berambut keriting hitam mereka di bawah gandar para pendeta
yang mementingkan diri sendiri. Di sana mereka menyembah Tuhan, memanggil Nabi
palsu, di antara mereka bahkan ada yang memuja tuhan lain, atau tepatnya
dewa-dewa lain. Ya, dewa-dewa kayu dan batu, yang mereka buat sendiri-hitam.
Menjijikkan, dengan hidung pesek, dan seperti setan.” (Multatuli,2014:190-191).
Propaganda melalui misioner agama
kristen merupakan ciri-ciri hegemoni, menganggap agama kristen paling benar
kemudian menjadikan agama tersebut sebagai agama nomor satu di Samudra Hindia
khususnya di Hindia Belanda, mereka menyerang bangsa terjajah bukan hanya
menggunakan senjata dan kekuasaan, namun mereka pun menyerang bangsa terjajah
dengan Agama. Internalisasi nilai-nilai Ke-Kristen-an terhadap pribumi,
sehingga ingin “menjadikan” bangsa pribumi sebagaimana bangsa Belanda, baik
dari segi keyakinan dan politik. Lebih jauh dari itu bahkan agama dijadikan
alasan untuk membenarkan penjajahan terhadap pribumi. Sebagaimana yang terdapat
dalam kutipan novel MH ini.
“Oleh
karena itu, Belanda telah dipilih untuk menyelamatkan sebanyak mungkin
makhluk-mahluk menyedihkan ini. Oleh karena itu, dia memberi kekuatan pada
sebuah negara yang berukuran kecil, tetapi besar dan kuat karena pengetahuan
mengenai Tuhan, dan menguasai penduduk di wilayah itu, agar mereka bisa
diselamatkan dari siksaan neraka oleh Injil yang suci dan selamanya terpuji .
kapal-kapal Belanda melayari lautan luas dan membawa peradaban, agama, dan
Kristenitas kepada orang-orang Jawa yang tersesat.” (Multatuli,2014:193)
Jika misioner sukses dilakukan oleh
misionaris bukan tidak mungkin bangsa pribumi akan semakin “tertidur” oleh
khutbah-khutbah agama yang dilakukan oleh misionaris, dan tentu hal itu akan
mempersulit kebangkitan dan kemerdekaan, karena materi khutbah yang disampaikan
tidak akan lepas dari masalah yang berkenaan dengan kekuatan Belanda dan
kelemahan Hindia Belanda, seperti isi khutbah tuan Wawelaar pada novel MH,
halaman 190-197.
Namun novel MH bagaimana pun juga adalah
novel “pembunuh” kolonialisme, hal itu terlihat dalam kisah kehidupan Saidjah
dan Adinda yang dikisahkan oleh pengarang dalam bab 17.
Pada mulanya Saidjah muda adalah anak
pria yang tangkas bekerja, khususnya tangkas dalam mengelola sawah menggunakan
kerbaunya, ia sangat ahli dalam mengendalikan kerbau, bahkan kerbau pun ibarat
satu jiwa dengannya, kerbau itu selalu menurut kepada Saidjah. Bahkan suatu
ketika saidjah dalam keadaan diintai Harimau dan dengan kecepatan pemangsa
harimau itu siap melompat ke arah tubuh saidah yang masih kecil. Namun dengan
tanpa diduga kerbau milik saidjah melindungi tubuh saidjah, harimau itu mati di
ujung tanduk kerbau dan saidah selamat.
Tapi sayang harimau itu harus disembelih
dari pada menjadi bangkai karena cakaran harimau yang mencekam lehernya.
Sebenarnya kerbau yang setia itu adalah kerbau kedua milik Saidjah, sedangkan
kerbau pertamanya dirampas oleh utusan bupati untuk memenuhi hasrat bupati
Lebak dengan jajarannya. Kala itu kerbau adalah kebutuhan dasar petani, tanpa
kerbau maka petani tidak akan bisa makan, dan kerbau keduanya itu ia peroleh
dari penjualan keris sang ayah.
Ketika sudah dewasa Saidjah memimpikan
mempunyai kerbau lebih dari satu, oleh karenanya ia berangkat ke Batavia untuk
mencari pekerjaan dan upah atas pekerjaan itu, sebelum berangkat ke Batavia ia
berpamitan dengan Adinda. Adinda adalah pasangan Saidjah semenjak kecil bahkan
mereka sudah dijodohkan semenjak dalam kandungan. Adinda berjanji akan menunggu
Saidjah sampai pulang dan akan menikah dengannya ketika saidah pulang. Tapi
ketika saidjah pulang beserta mimpi-mimpi dan keinginannya ternyata Adinda
tidak ada di desanya. Keluarga adinda mengalami nasib seperti keluarga Saidjah.
Kerbau mereka dirampas dan mereka melarikan diri ke Lampung untuk menjadi
relawan pemberontak. Sampai di tempat pemberontakan, Saidjah menemukan Ayah
Adinda di reruntuhan rumah terbakar dengan luka Bayonet yang mengaga di
dadanya. Di dekatnya, saidjah melihat tiga adik laki-laki adinda yang terbunuh.
Sedikit lebih jauh lagi tergeletak mayat adinda, teraniaya secara mengerikan.
Akhirnya Saidjah menyerahkan nyawanya ke
tentara Belanda dan menembuskan bayonet-bayonet sampai senjata mereka terbenam
ke dalam dadanya.
Cerita singkat Saidjah itu merupakan
kisah ketidak adilan yang selalu menimpa kaum bawah akibat dari kesemena-menaan
para pejabat Belanda. Belanda selalu mendominasi berbagai hal, salah satunya
adalah dominasi kekuasaan, politik dan kekuatan. Bagaimana pemberontakan
dituntaskan dengan serangan mematikan yang tak mempedulikan perikemanusiaan.
Bahkan pengarang pun melukisakan hal semacam itu dalam novel MH.
“Aku tidak peduli apakah aku dianggap
sebagai pelukis yang tidak becus, asalkan diakui bahwa perlakuan buruk terhadap
orang pribumi memang KETERLALUAN”. (Multatuli, 2014:402)
b.
Hegemoni Dalam Novel Bumi Manusia
Bumi Manusia menjadi semacam memoar
tokoh Minke. Minke, sebagai tokoh
sekaligus menjadi narator utama. Dia membuka peristiwa dengan memperkenalkan
dirinya yang menuliskan kisah yang dialaminya belasan
tahun yang lalu:
“Tigabelas tahun kemudian catatan pendek
ini kubacai dan kupelajari kembali,
kupadu dengan impian, khyal. Memang menjadi lain dari aslinya. Tak
kepalang tanggung. Dan begini kemudian jadinya” (Toer, 2011: 10).
Cerita berlanjut dengan perkenalan diri
Minke saat berada di bangku sekolah dan mengemukakan pandangannya
tentang perkembangan dunia. Perkenalan diri diputus oleh kedatangan Robert
Suurhof yang mengajaknya mengunjungi keluarga Mellema: Tuan dan Robert Mellema
yang tak menyenanginya, Nyai
Ontosoroh dan putrinya
yang menyukainya. Jatuh cinta pada pandang pertama menyatukan Minke dan
Annelies dalam satu rumah.
Suatu hari keluarga tersebut menemukan
mayat Tuan Mellema di rumah plesiran Babah AH Tjong yang tak jauh dari rumah
mereka. Pengadilan pun digelar. Babah Ah Tjong dinyatakan bersalah telah
sengaja memberikan ramuan yang membahayakan jiwa Mellema secara perlahan-lahan;
Minke dan Annelies diusik kebersamaan mereka dalam satu rumah. Peristiwa ini
berakibat pada dikeluarkannya Minke karena dianggap sudah lebih dewasa daripada
teman sebayanya.
Dengan pertolongan Tuan Asisten Residen
kota B. Minke kembali ke sekolah dan lulus dengan nilai terbagus seluruh
Surabaya. Akhirnya dia menikahi Annelies
secara Islam.Sayang, kebahagiaan tak berlangsung lama. Ir. Maurits Mellema
menuntut haknya atas harta warisan ayah kandungnya, dan juga hak perwalian atas
Annelies yang belum dewasa menurut hukum Eropa. Perkawinan Minke dan Annelies
dibatalkan oleh pengadilan Eropa, dan Annelies harus berangkat ke Belanda danhidup
di bawah pengawasan keluarga Mellema. Perbedaan perlakuan hukum telah
diterapkan.
Berbeda dengan novel MH, novel Bumi
Manusia lebih cenderung melawan hegemoni barat yang sangat mendominasi Pribumi,
tokoh-tokoh dalam novel BM (Bumi Manusia) keluar dari identitas dirinya sebagai
Pribumi, kemudian mencoba meniru (Mimikri) identitas orang kebanyakan Eropa
yang berwawasan luas, yang berpakaian rapi dan mencintai persamaan seperti
halnya yang terjadi pada fenomena revolusi Prancis (persamaan, persaudaraa dan
kebebasan), peniruan itu selanjutnya dijadikan senjata untuk melawan hegemoni
yang selama ini mendominasi dan mengenadalikan kehidupan.
Nyai
Ontosoroh yang ditukar
ayahnya dengan jabatan
kasir menolak identitasnya yang
lama. Dia selalu
menanyakan pada “suaminya”
kemajuan yang telah dicapainya.
Sudahkan dia seperti
wanita Eropa: bahasa
Belanda dan cara
bersikapnya?Bacaan yang dibacanya bahkan jauh melebihi bacaan kebanyakan
wanita Eropa di Hindia Belanda.
Namun, prestasi yang dicapainya tidaklah
menentukan bahwa identitasnya berubah menjadi sama dengan identitas wanita
Belanda. Dia adalah pribadi yang berbeda dengan asalnya, dia menjadi mirip dengan
yang ditirunya, tetapi tidaklah sama persis. Ketika berlangsung
sidang melawan Ir.
Maurits Mellema, oleh hukum
Nyai Ontosoroh dilarang
berbicara dalam bahasa
Belanda. Meskipun bahasa Belandanya sangat bagus, dia tidak
diperbolehkan menjawab langsung pertanyaan hakim; seorang pribumi
harus berbicara Melayu
dan dibantu oleh seorang
penerjemah MelayuBelanda. Nyai Ontosoroh merasa
dilemparkan ke hunian
aslinya; dia disadarkan
pada posisinya yang tidak sama dengan orang Belanda. Berikut kutipan
dari novel BM.
“Dengan
suara lantang dalam Belanda tiada cela-di bawah larangan hakim yang memaksanya
menggunakan Jawa, serta ketukan palu-laksana air bah lepas dari cengkraman
taufan ia bicara:
Tuan
Hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, karena toh telah dimulai
membongkar keadaan rumah tanggaku .... (ketokan palu; diperingatkan agar
menjawab langsung). Aku, Nyai Ontosoroh alias Sanikem, gundik mendiang Tuan
Mallema, mempunyai pertimbangan lain dalam hubungan antara anakku dengan
tamuku. Sanikem hanya seorang gundik. Dari kegundikanku lahir Annelies. Tak ada
yang menggugat hubunganku dengan Tuan Mellema, hanya karena dia Eropa Totok.
Mengapa hubungan antara anakku dengan Tuan Minke dipersoalkan? Hanya karena
Tuan Minke Pribumi? Mengapa tidak disinggung hampir semua orang tua golongan
Indo? Antara aku dengan Tuan Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah
digugat oleh hukum. ... orang Eropa dapat membeli perempuan Pribumi seperti
diriku ini. Apa pembelian ini lebih benar dari pada percintaan tulus? Kalau
orang Eropa boleh berbuat karena keunggulan uang dan kekuasaannya, mengapa
kalau Pribumi jadi ejekan, justru karena cinta tulus?
Sidang
memang menjadi kacau. Nyai terus juga bicara tanpa mengindahkan paluan hakim.
Nyai dipaksa mengakui bahwa Annelies bukan Pribumi, tapi Indo” (Toer, 2011:
426).
Tokoh Nyai dalam novel BM merupakan
tokoh yang tidak hanya menerima dengan aturan-aturan Belanda, namun ia melawan
dengan kemampuan retorikanya yang bagus, serta intelektualnnya yang menyamai
orang Eropa kebanyakan, tentu hal itu sangat berbeda dengan tokoh-tokoh yang
ditampilkan dalam novel MH,yang lebih cenderung pasrah, dengan dominasi orang
Eropa khususnya pemerintahan Belanda. Bukan hanya tokoh Nyai Ontosoroh yang
ditampilkan dengan karakter melebihi identitas orang Eropa, namun hal itu pun
terjadi dengan tokoh Minke.
Minke sebagai lulusan
terbaik HBS Surabaya, mengalahkan
pelajar-pelajar lain, bahkan yang totok Belanda. Namun, dalam hukum dia
harus mengakui kedudukannya yang
rendah. Pernikahannya dengan Annelies
yang sah secara hukum Islam dan
pribumi dapat dibatalkan oleh hukum kolonial Belanda. Meskipun Annelies Mellema
menolak, sebagai gadis di bawah 17 tahun hukum tetap menempatkan dia di bawah
pengasuhan mantan istri Tuan Mellema. Dia diperintahkan untuk bertolak ke
Belanda meninggalkan suami dan ibu kandungnya. Annelies yang selalu menyebut
dirinya pribumi, kini harus
mengakui kenyataan bahwa
dia warga Belanda.
Dalam kehidupan masyarakat Hindia
Belanda ada sementara kelompok Indo yang mengingkari darah
pribuminya, misal tokoh Robert Mellema,
Robert Suurhof, Mereka lebih suka disebut sebagai orang
Belanda sebagai tipe kulit putih dan berpura-pura bahasa Melayunya jelek.
Mereka lebih memilih identitas putih yang dipandang lebih bagus, murni dan
berbudaya.
C.
Daftar Pustaka
Bimbie.
2013. Teori Postcolonial dalam Penelitian
Kesusastraan, (Online), (Bimbie.com), diakses 15 Oktober 2014.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi. Model, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: CAPS
Multatuli. 2014.
Max Havelaar. Bandung: Qanita
Minderop, Albertine. 2013. Psikologi Sastra: Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Nurhadi. 2007. Poskolonial:
Sebuah Pembahasan. Artikel disajikan pada seminar sastra di FBS UNY,
Yogyakarta, 7 Desember 2007. (Online), diakses 15 Oktober 2014.
Toer, Pramoedya
Ananta. 2011 .Bumi Manusia.Jakarta: Lentera Dipantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar