Masalah terpenting dalam konsep antropologi
sastra adalah hubungan antara karya sastra dan kebudayaan. Menurut Ratna (2011:
174), karya sastra adalah kebudayaan, sehingga ada pendapat bahwa untuk
mengetahui kebudayaan suatu masyarakat, maka harus dipahami melalui karya
sastranya.
Sebelum
membicarakan lebih jauh mengenai hubungan karya sastra dengan kebudayaan,
terlebih dahulu perlu diketahui hubungan antara bahasa dan budaya. Hal ini
dikarenakan karya sastra tercipta melalui bahasa. Menurut Fishman (2000: 547),
menunjukkan tiga model hubungan antara bahasa dan budaya, yaitu: (a) bahasa
sebagai bagian itegral kebudayaan secara luas; (b) bahasa juga merupakan indeks
bagi kebudayaan; dan (c) bahasa merupakan simbol budaya.
Pertama, sebagian
besar, bahkan keseluruhan aktivitas manusia dinyatakan melalui bahasa. Memahami
kebudayaan suatu komunitas berarti memahami bahasanya. Bahkan ada pendapat yang
mengatakan bahwa tanpa bahasa pada dasarnya kebudayaan tidak ada. Punahnya bahasa
petanda terjadinya dislokasi budaya. Kedua,
bahasa menunjukkan cara-cara berpikir budaya tertentu, dengan cara
menyediakan istilah, konsep, proposisi, dan sebagiannya. Kekayaan kosa kata
demikian juga kompleksitas gramatikal bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Eropa
lain merupakan indikator kamajuan kebudayaan barat. Ketiga, keseluruhan aktivitas, baik tingkah laku maupun pikiran dan
perasaan, termasuk benda-benda kultural lainnya dapat dipahami semata-mata
melalui simbol bahasa. Bahasa dapat digunakan untuk menunjukkan kebenaran
tertentu, sebalikknya, bahasa juga dapat menyembunyikannya bahkan, bahasa juga
dapat digunakan untuk berbohong (Fisman, 2000: 548).
Berdasarkan
uraian di atas bahwa bahasa memiliki peranan penting dalam proses terciptanya
karya sastra. Karya sastra diciptakan melalui bahasa, melalui kekayaan kosa
katanya. Oleh karena itu, untuk memahami hubungan antara karya sastra dengan
budaya maka, bahasa merupakan komponen yang sangat penting. Jika seseorang
ingin memahami kebudayaan suatu kelompok, berarti juga memahami bahasanya.
Dengan kata lain, budaya dituangkan dalam karya sastra melalui bahasa.
Keterkaitan
anatara karya sastra dengan kebudayaan diungkapkan Ratna dalam bukunya yang
berjudul Antopologi sastra. Menurut Ratna (2011: 182), implikasi lebih jauh
sastra dan kebudayaan adalah tarik menarik nilai kedua disiplin. Di satu pihak,
dengan memberikan prioritas terhadap karya sastra, karya kultural yang
didominasi oleh imajinasi dan kreatifitas, maka keseluruhan cirinya untuk
memperoleh validitasnya, kompetensinya, sehingga dapat dipahami oleh
pembacanya, karya sastra harus dikembalikan kepada masyarakat, pada kebudayaan,
dimana karya sastra tersebut berasal.
Teori
Representatatif dan Refleksi Budaya
Menurut
Endraswara (2013: 28), representasi adalah gambaran apa saja yang ada dalam
sastra. Gambaran dapat disebut citra. Sastra akan mencitrakan kehidupan
manusia. Citra diri dan kelompok perlu diungkap secara reflektif, reflektif
menghasilkan fenomena budaya yang disebut refleksivitas. Representasi merujuk
pada daya pantul di balik fenomena, sedangkan refleksivitas merujuk pada
bagaimana antropolog sastra memancing, memberi umpan, dan memaknai sebuah
representasi.
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa hubungan teori representatif dan
refleksi budaya dengan antropologi sastra terletak pada pencerminan teks sastra
yang mengangkat segala hal tentang aspek budaya dalam sastra. Dalam sebuah teks
sastra terdapat makna yang tersembunyi, makna yang tersembunyi itulah yang
apabila terungkap akan menghasilkan yang namanya representasi. Dengan kata
lain, penelitian mengenai antropologi sastra dapat menggunakan teori ini
sebagai teori pendamping.
Menurut Cavallaro (dalam
Endraswara, 2013: 29), menyatakan bahwa
representasi sejajar dengan citra. Penelitian antropologi sastra dapat
mengungkap pencitraan budaya dalam sastra. Persoalan citra tokoh perempuan,
buruh, budaya priayi, citra petani, dan lain-lain dapat menjadi fokus
penelitian. Representasi muncul dalam berbagai tindakan simbolis. Representasi
itu jika tertangkap akan mewakili realitas. Representasi merupakan gambaran
atau citra (image). Yang diungkap dalam representasi antara lain (a)
penampilan dramatis tokoh lewat dialog-dialog, deskripsi sastrawan; (b)
fakta-fakta setting tradisi, tempat ibadah; (c) fenomena alam, sosial,
interaksi multikultural, dan sebagainya. Dengan demikian, peneliti antropologi
sastra perlu memilih sastra yang baik, yaitu karya yang merepresentasikan aneka
budaya secara lengkap. Yang dimaksud budaya bukan sekadar tradisi, bukan
sekadar seni, melainkan seluruh proses dan karya serta tindakan manusia.
Melalui
teori representatif, penelitian mengenai antropologi sastra dapat mengungkap
tentang gambaran budaya yang ada dalam karya sastra. Jadi realitas budaya yang
terdapat dalam karya sastra akan diungkap dengan teori ini. Namun kolektifitas
tidak hanya sekedar milik tokoh secara pribadi. Justru representasi mengungkap
tentang gambaran budaya yang dilakukan secara bersama-sama. Seperti yang
dijelaskan oleh Morris. Morris
(2003: 335), menyebutnya sebagai
representasi kolektif. Sastra biasanya bukan sekadar representasi tindakan
personal, melainkan juga melukiskan keinginan kolektif. Tema kegotongroyongan,
gugur gunung, tradisi, dan lain-lain biasanya akar kolektivitasnya amat kuat.
Oleh karena itu, antropologi sastra berusaha menafsirkan kolektivitas dalam
sastra. Kolektivitas merupakan bentuk kebersamaan budaya untuk kepentingan
bersama. Tema-tema lokalitas dan etnisitas adalah gambaran representasi
kolektivitas.
Daftar Pustaka
Endraswara,
Suwardi. 2013. Metodologi Antropologi
Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Fishman, Joshua A. 2000. Bahasa dan Budaya. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Morris, Brian. 2003. Antropologi Agama. Yogyakarta:
AK Group.
Khuta Ratna, Nyoman. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsur
Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar